Hal itu karena legalitas pemenuhan bahan baku kayu, yang dibutuhkan oleh proyek-proyek yang diusulkan dalam RAPBA 2010, tak jelas. Pihaknya mengidentifikasi sedikitnya terdapat 40 proyek dengan nilai anggaran Rp 1,03 triliun yang membutuhkan bahan baku kayu di dalam RAPBA 2010.
“Nilai tersebut belum termasuk nilai anggaran dari proyek-proyek sarana dan prasarana yang membutuhkan bahan baku kayu yang akan dikerjakan lewat anggaran belanja pembangunan kabupaten/kota tahun 2010 ini,” jelas Vanda, Kamis (28/1). RAPBA 2010, lanjut Vanda, sama sekali tak memberikan solusi pengadaan bahan kayu legal untuk proyek-proyek yang membutuhkan bahan baku kayu.
Sehingga pihak rekanan yang akan mencari sendiri kebutuhan kayunya dalam pengerjaan proyek-proyek tersebut melalui mekanisme pasar. “Padahal pasar kayu legal di Aceh kan tidak jelas. Saya pikir, Gubernur Aceh tahu hal itu,” ujarnya.
Vanda menegaskan, RAPBA 2010 sama saja seperti APBA 2008 dan 2009, yang tidak mampu menjawab bagaimana kebutuhan bahan baku kayu dapat dipenuhi terhadap proyek-proyek yang membutuhkan bahan baku kayu di saat kebijakan moratorium logging sedang berlangsung.
Untuk itu, Vanda meminta agar DPRA tidak menyetujui RAPBA 2010 hingga ada kejelasan dari Gubernur Aceh bagaimana pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu legal dalam pengerjaan proyek-proyek yang diusulkan dalam RAPBA 2010 tersebut.
“Jika DPRA tetap menyetujui RAPBA 2010 tanpa ada kejelasan dari Gubernur tentang mekanisme pemenuhan bahan baku kayu legal dalam pengerjaan proyek-proyek yang diusulkan dalam RAPBA 2010 tersebut, berarti DPRA ikut serta makin menyuburkan praktik illegal logging dalam menjalankan fungsi anggarannya di legislatif,” ujarnya.
Pada 2010, besar pagu RAPBA adalah senilai Rp 6,5 triliun. Pagu anggaran itu menurun dibandingkan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2009 lalu, yang mencapai Rp 9,7 triliun.
ADI WARSIDI