TEMPO Interaktif, Jakarta - Polisi dinilai tidak mempunyai data dan informasi yang akurat, sehingga seringkali melakukan salah tangkap yang berujung pada tindak kekerasan.
"Semestinya tidak boleh terjadi, kita prihatin kondisi seperti itu," kata Kriminilog Unversitas Indonesia Erlangga Masdiana saat berbincang denga Tempo, Kamis (24/12).
Awal Desember lalu, anggota Polsek Beji Depok salah tangkap terhadap sejarawan Universitas Indonesia JJ Rizal. dia disangka pengedar obat-obat terlarang. Baru-baru ini, juga terjadi di Gorontalo, tersangka pencurian sepeda motor Kasman Noho dipaksa mengaku dengan cara tangannya dipaku.
Kalau polisi melakukannya, lanjut Erlangga, hal itu melanggar kode etik. Jika ada unsur melakukan tindak kekerasan terhadap tersangka bisa dituntut melalui jalur pidana umum. "(itu) tidak diperbolehkan dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), dan seringkali polisi tidak menghadirkan pengacara saat pemeriksaan," terangnya. "Kewenangan polisi serba power full" imbuh dia.
Namun, Erlangga melihat, kondisi seperti ini juga merupakan cerminan masyarakat yang tidak melakukan tindakan disiplin dengan menggunakan cara-cara kekerasan. "Polisi representasi masyarakat juga," tukasnya.
Diharapkan, pemerintah melakukan upaya perbaikan lembaga kepolisian dan penyadaran hukum terhadap masyarakat yang berujung pada penegakan hukum yang adil. "Jika masyarakat ingin disadarkan, tapi lembaga hukum masih ada markus, bagaimana orang bisa tunduk (hukum)," paparnya.
"Penegak hukum dan masyarakat (harus) saling interaktif, karena penegak hukum yang dispilin bisa tergiur juga kalau ada yang mau nyogok. Yang jelas konsistensi penegakan hukum. Nah, untuk menjaga seperti itu dengan cara reformasi penegak hukum dengan dukungan sistem yang cukup," pungkas Erlangga.
SHOLLA TAUFIQ