"Pemberitaan media mainstream (berkualitas) cukup berimbang," kata Leo ketika dihubungi Tempo, Senin (14/12).
Menurut Leo, pernyataan kedua pejabat itu menunjukan keduanya tidak memahami pers sebagai fungsi kontrol. Pemberitaan pers, kata Leo, harus diapresiasi untuk perbaikan kinerja pemerintahan. "Jangan buruk muka cermin dibelah," kata dia.
Leo mengibaratkan pers sebagai panggung aspirasi masyarakat. Dia mencontohkan, sewaktu kepolisian berhasil melumpuhkan teroris, banyak pujian yang dialamatkan ke korps baju cokelat itu. Namun, saat perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian mengemuka, pers terlihat lebih condong mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi itu, kata Leo, disebabkan memang pers menemukan fakta-fakta ada yang salah dalam kinerja kepolisian. "Ini terbukti dalam temuan Tim Delapan yang dibentuk Presiden," kata dia.
Contoh terakhir, kata Leo, adalah perseteruan antara Sri Mulyani dengan anggota Panitia Khusus Angket Bank Century, Bambang Soesatyo. "Pers melihat penjelasan Sri Mulyani cukup baik dan memihak dia," kata Leo. Kenyataan ini, lanjut Leo, seolah-olah gugatan bagi Bambang Soesatyo, "Bagaimana ini Anda punya temuan," kata Leo.
Leo berharap agar Boediono dan Menteri Tifatul bisa mencontoh keteladanan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Menurut dia, Ali Sadikin sangat mengapresiasi pemberitaan pers, bagaimana pun pahitnya pemberitaan itu. "Beliau tidak marah bila pers memberitakan yang jelek-jelek. Itu dinilainya sebagai masukan buat pemerintah agar bekerja lebih baik," kata dia.
AMIRULLAH