Pemilik lahan menuntut harga ganti rugi yang nilainya sama dengan ganti rugi korban Lumpur, yakni sekitar Rp 1 juta per meter persegi. Akibatnya, proses pembebasan lahan yang letaknya berhimpitan dengan lokasi tanggul penahan Lumpur gagal dilakukan.
Panitia pembebasan lahan menawarkan harga ganti rugi untuk tanah berupa sawah Rp 120 ribu per meter persegi dan lahan kering Rp 175 ribu - Rp 600 ribu per meter persegi. Namun, warga bersikeras menolak melepaskan tanahnya jika harga ganti rugi tak sesuai dengan tuntutan mereka.
Ketidaksesuaian harga ganti rugi tersebut, menurut Win Hendrarso, bisa membuyarkan rencana pembangunan jalan tol sebagai pengganti jalan tol yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo.
Sesuai jadwal, kata Win pula, proses pembebasan lahan sudah harus selesai tahun 2009 ini, sehingga bisa dimulai proses pengerjaan konstruksi jalan tol sepanjang 11 kilometer dengan lebar 120 meter tersebut tahun 2010. Jika warga tetap menolak harga ganti rugi yang ditawarkan panitia pembebasan lahan, pemerintah akan menempuh cara konsinyasi.
Bupati Win Hendrarso menegaskan bahwa pemerintah berhak menggunakan lahan demi kepentingan umum.
Sementara itu, Juru Bicara Badan Pengendalian Lumpur Sidoarjo (BPLS) Ahmad Zulkarnain mengatakan, pembebasan lahan menjadi kewajiban BPLS. Hingga saat ini telah dibayarkan uang ganti rugi bagi 50 persen lahan yang dibutuhkan untuk proyek jalan tol tersebut.
Adapun masalah 20 persen lahan, menurut dia, pihak BPLS masih terus melakukan pendekatan dengan para pemilik tanah, dan diharapkan proses pembebasannya bisa berjalan lancer. BPLS tetap meminta warga melepaskan tanahnya dengan harga yang ditetapkan panitia pembebasan lahan. "Kami terus dekati warga secara persuasif," jelasnya. EKO WIDIANTO.