TEMPO Interaktif, Semarang - Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait kebijakan upah minimum kabupaten/kota. Ia menyatakan besaran upah minimum kabupaten/kota tidak boleh melebihi dari angka kebutuhan hidup layak di masing-masing daerah.
"Kalau melebihi KHL justru melanggar aturan," kata Bibit usai rapat koordinasi dengan pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah Jawa Tengah, Senin (16/11).
Bibit berkukuh bahwa pendapatnya itu berdasarkan pada Pasal 89 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Padahal, jika menilik pada pasal dan ayat tersebut berbunyi: "upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak".
Karena UMK tak boleh melebihi KHL, maka Bibit Waluyo menurunkan upah minimum di dua kabupaten yang dalam usulannya melebihi angka KHL. Kota Semarang yang semula Rp 940.000 turun menjadi Rp 939.756,15.
Sedangkan Kota Salatiga yang semula Rp 803.200 turun menjadi Rp 803.185,45. "Agar pas 100 persen sesuai KHL," kata mantan Panglima Kodam IV Diponegoro ini.
Penurunan ini bertujuan untuk disesuaikan dengan aturan yang ada.
Pendapat Bibit tersebut ditolak keras kalangan buruh. "Tidak ada aturan yang menyebut UMK tak boleh lebih dari KHL," kata Ketua Serikat Pekerja Nasional Nanang Setyono dalam kesempatan terpisah. Dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa buruh berhak mendapatkan upah yang layak.
Pasal 89 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. "Tidak ada kata-kata yang melarang upah lebih dari KHL," kata Nanang.
Selain itu Nanang menambahkan, dalam peraturan menteri nomor 17 Tahun 2005 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup juga tidak melarang upah melebihi KHL. "KHL hanya dijadikan upah standar minimum," kata dia.
Bahkan, menurut Nanang, jika menilik aturan maka pemerintah harus memberi upah yang selayak-layaknya kepada buruh.
Nanang memperkirakan ada dua sebab kenapa Bibit menyatakan seperti itu. "Gubernur tidak paham secara detail tentang aturan-aturan," kata Nanang. Kemungkinan lain adalah Bibit sudah tidak mementingkan aspirasi buruh lagi sehingga kebijakan upah tidak akan melebihi angka KHL.
Padahal, sambung Nanang, aturan tentang upah dan KHL saat ini sebenarnya sudah tidak relevan. Ia memberi contoh komponen kebutuhan yang digunakan hanya 43 item.
Padahal, saat ini kebutuhan buruh lajang sudah mencapai 67 item. Angka KHL yang ditetapkan saat ini, rata-rata hanya mencapai 60 persen kebutuhan hidup layak kalangan buruh. "Buruh minta agar aturan ini segera direvisi," kata Nanang.
ROFIUDDIN