Menurut Wikrama, panitia khusus DPR yang menyusun UU politik ini tak mengerti persoalan pers dan media di Indonesia. Karenanya, dalam penyusunan UU itu, ada beberapa pasal yang yang tidak jelas dan bertentangan dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Ia menduga, ada keinginan politik untuk membuat kebijakan yang represif sehingga mengancam kebebasan pers.
Wikrama menunjuk Pasal 98 butir 1 pada UU itu yang menyebutkan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran melakukan pengawasan atas pemberitaan dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau oleh media massa cetak. Begitu pula butir (2) UU itu yang menyebutkan, 'Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Menurut Wikrama, pasal ini bertentangan dengan UU Pers. Tugas Dewan Pers, kata Wikrama, melakukan mediasi antara pers dengan pihak yang merasa dirugikan, bukan menghukum pers. "Kata dibalas dengan kata, bukan dengan penjara," ujar Wikrama. Selain itu, Pasal 99 undang-undang ini menyebutkan jenis sanksi yang dapat diberikan kepada media massa mulai dari teguran tertulis hingga pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak yang ada dalam butir f. "Izin penerbitan kan sudah tidak berlaku lagi sekarang," kata Wikrama.
Wikrama meminta pers dan masyarakat mewaspadai upaya pemberangusan kebebasan pers ini. Selain undang-undang pemilu, DPR juga sudah mengancam kebebasan pers dengan dua produk hukum lain yakni Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. "Jangan sampai ada kriminalisasi lagi terhadap pers," katanya.
Wikrama menuturkan, materi judicial review ini sedang dalam pembahasan. Rencananya, akan diajukan bersama sejumlah organisasi profesi jurnalis antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). "Akan kami ajukan dalam waktu dekat," ujar Wikrama. Bekas Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursidan Baldan mengatakan, pers tidak perlu khawatir dengan ancaman sanksi dalam pasal 99 ini. "Kalau pers merasa resah, abaikan saja pasal 99 ayat (1) butir f itu," ujar Ferry. Anggota Fraksi Partai Golkar DPR ini menyatakan tak berniat memberangus pers saat menyusun undang-undang ini. "Kami gunakan kata 'dapat' dalam pasal itu sebagai pilihan sanksi yang diterima media tapi tidak harus langsung mencabut izin penerbitan," ujarnya. Pengamat politik Yudi Latief mengatakan, kebebasan pers merupakan kebebasan positif yang harus dilindungi oleh negara. "Seharusnya kebebasan ini dilindungi pemerintah seperti first amandemen di Amerika," ujar Yudi. Anggota Komisi I DPR RI Dedy Djamaluddin Malik mengusulkan agar DPR merevisi undang-undang itu dan mencabut pasal yang merugikan kebebasan pers. Undang-undang itu, kata Dedy, merupakan produk hukum jadi sangat mungkin direvisi. "Kalau pun tidak direvisi, KPI dan KPU tidak usah menggunakan pasal itu," katanya. Rana Akbari Fitriawan