Senin ini, DPR memutuskan pengadilan reguler untuk penyelesaian kasus penembakan aparat kemanan terhadap mahasiswa seusai mendengar laporan dari Ketua Pansus Trisakti dan Semanggi I-II, Panda Nababan. Sebenarnya, menurut Nababan, dalam Panitian berkembang tiga pendapat.
Pendapat pertama merekomendasikan KPP HAM dibentuk untuk menyelidikik kasus ini. Akan tetapi, kata Panda, hal tersebut terbentur kepada UU Nomor 26/2000 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam UU tersebut, Komnas hanya berhak melakukan penyelidikan pro justisia. Pendapat kedua, Panitia merekomendasikan Presiden untuk mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM Ad Hoc. “Usulan ini tampak sejalan dengan Undang-undang Nomor 26/2000,” jelas Panda di Rapat Paripurna. Akan tetapi setelah melalui voting akhirnya Pansus menyetujui opsi ketiga yaitu merekomendasikan kasus penembakan ini diselesaikan melalui pengadilan biasa, yaitu pengadilan militer.
Sempat terjadi interupsi sebelum Soetardjo Surjoguritno, yang memimpin rapat tersebut, akan mengambil keputusan. Interupsi dilakukan anggota Fraksi PDIP, Firman Jayadaely. Namun interupsi tersebut tidak digubris Soetardjo. Seusai Soetarjo mengetok palu, ibu korban yang duduk di balkon langsung menangis. Sumarsih mengecam keputusan anggota Dewan tersebut. “Itu bukan hak DPR, tapi kewenangan Komnas HAM,” kata Arif Priyadi, suami Sumarsih. Ia mengatakan kekecewaannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh orang tua korban Semanggi I, Sigit Prasetyo. “Kami tetap mendesak KPP HAM untuk melanjutkan (kasus ini),” kata Arif kepada wartawan. Terlihat Romo Sandyawan mendampingi orang tua korban kasus Trisakti dan Semanggi I serta II.
Dalam voting Pansus sebelumnya, perbandingan antara yang setuju Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan militer adalah 5:14. (Anggoro Gunawan)