Menurut Muljohardjo, bila dalam batas waktu izin tersebut Syamsul tidak kembali ke Indonesia, pihaknya akan mencari Sjamsul keluar negeri. “Tetapi kan kemarin sudah ditegaskan oleh Baharuddin Lopa bahwa pihak Kejaksaan telah proaktif dengan menanyakan hal tersebut ke KBRI,” tegas Muljohardjo. Ia menepis anggapan bahwa belum adanya kabar dari KBRI di Jepang tersebut lantaran Kejaksaan tidak melakukan koordinasi dengan KBRI sejak awal.
Ditegaskan Muljohardjo, secara normatif tidak ada keharusan Kejaksaan Agung untuk melakukan koordinasi dengan KBRI. Karena pemberian ijin tersebut sepenuhnya adalah wewenang tim penyidik yang batas-batasnya diatur dalam undang-undang, seperti mengalihkan penahanan, melakukan penahanan, atau memberi ijin. “Tetapi kalau memang dibutuhkan, Kejaksaan Agung bisa meminta bantuan KBRI seperti sekarang ini,” ujarnya.
Sampai saat ini, Muljohardjo melihat bahwa yang dilakukan Kejaksaan Agung masih dalam batas-batas wewenang hukum, termasuk pemberian izin berobat itu. Tetapi kalau wewenang tersebut dilampaui, baru namanya pelanggaran panyalahgunaan wewenang. Ia mengaku, jaminan khusus buat Sjamsul kalau ia melarikan diri memang tidak ada. Tetapi izin berobat tersebut adalah keputusan resmi jaksa penyidik Kejaksaan Agung.
Keputusan itu sendiri muncul dari permohonan dari yang bersangkutan, keluarga, yang direkomendir oleh tim dokter Rumah Sakit Medistra, Jakarta, dokter di Kokura Memorial Hospital, Tokyo, serta pengacaranya. (Cahyo Junaidi)