TEMPO.CO, Karubaga - Tiga perempuan beda usia duduk di depan pintu rumah kios (ruki) yang letaknya bersebelahan dengan rumah dinas Bupati Tolikara. Seorang di antaranya memegang palu berwarna hijau muda. Beberapa anjing mengonggong ketika Tempo berusaha mendekati ketiga perempuan itu.
Dengan bahasa setempat, perempuan yang memegang palu berdiri sambil berteriak. Sulit memahami kata-katanya karena ia menggunakan bahasa setempat. Ketika Tempo memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan menemuinya, seketika perempuan berusia sekitar 30 tahun itu bergegas lari ke arah Tempo dan berusaha melemparkan palunya, namun terjatuh.
Dengan sigap dipungutnya palu dan berlari ke arah Tempo sambil diikuti perempuan yang usianya lebih tua dan seorang remaja putri. “Ada apa ke sini. Pergi, pergi, tak ada wawancara . Tidak ada gunanya, datang ke sini cari data, wawancara, tapi kami tetap seperti ini,” katanya dengan wajah memerah menahan marah.
SIMAK: Kenapa di Tolikara Pembangunan Ditunda, Harga Melonjak?
Setelah Tempo mengulangi memberikan penjelasan, perempuan itu kemudian menurunkan tangannya yang menggengam palu bergagang besi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Seketika air mata mengalir di pipinya. Suaranya terisak menjelaskan bahwa dirinya merupakan satu dari 60 korban kebakaran rumah toko (ruko) pada 17 Juli 2015.
Kebakaran ruko itu terjadi saat para peserta Kebangkitan dan Kebangunan Rohani (KKR) internasional yang diadakan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) memprotes penggunaan pengeras suara saat salat Id berlangsung di halaman Koramil 1702-11 Karubaga, Tolikara. Padahal pihak GIDI dan tokoh Muslim Tolikara dan Kapolres Tolikara, Soeroso telah sepakat KKR dan Shalat Id berjalan bersama dengan syarat tidak ada pengeras suara. Protes berujung pada pembakaran ruko dan lemparan batu, yang dipuncaki oleh tembakan yang menewaskan satu orang peserta KKR dan 11 orang terluka.
Perempuan yang mengaku bernama Kondalina Wenda menjelaskan, letak rukonya bersebelahan dengan ruko milik pedagang BBM eceran. Letaknya tepat di seberang kantor Bank Pembangunan Daerah Papua. Api dengan cepat menyambar ruko milik Kondalina. “Saya tidak sempat menyelamatkan barang-barang saya. Semua habis terbakar,” ujarnya terisak.
Meski ditimpa musibah, Kondalina sempat bersemangat setelah pemerintah daerah Tolikara membangun ruki sebagai pengganti ruko . Ia juga mendapat informasi beberapa pejabat pusat memberikan sumbangan dana untuk modal usaha.
“ Tapi sudah tujuh bulan, tidak ada bantuan. Saya tidak punya uang untuk modal. Saya hidup dari bantuan orang, anak saya tidak bisa sekolah,” ujarnya seraya menunjukkan remaja putri itu yang bersamanya adalah anak sulungnya dan perempuan yang berusia lebih tua adalah ibu kandungnya.
Saat ini ia tinggal di ruki karena tidak ada tempat tinggal lagi. Ada 60 ruki yang dibangun, namun hanya sekitar 6 ruki yang sudah ditempati. Sejumlah ruki sudah rusak bahkan beberapa kayu, bola lampu, dan papan dicuri orang. “Pak bupati tak pernah berkunjung ke sini sejak ruki ini dibangun,” kata ibu tiga anak ini.
Untuk bertahan hidup, Kondalina bekerja serabutan. Menurut Kondalina, ada sumbangan dari para menteri yang totalnya mencapai Rp 370 juta untuk seluruh korban kebakaran ruko. Ia menyebut informasi itu berasal dari ustad Ali Muchtar, tokoh umat Muslim Tolikara. “Kemana uang itu? Saya perlu modal agar bisa jualan lagi,” ujar Kondalina .
Ustad Ali juga kehilangan rukonya karena terbakar pada 17 Juli 2015. Tidak ada yang tersisa padahal dia baru saja membeli bahan kebutuhan Lebaran. Sehingga cukup besar kerugian yang dialami ustad Ali. Sebelumnya ustad Ali menjelaskan bahwa ia mewakili seluruh pemilik ruko yang terbakar menerima sumbangan dari Menteri Sosial dan Menteri Dalam Negeri yang totalnya Rp 370 juta. “Saya titipkan uang itu ke pos TNI, waktu itu ada Danrem lalu bilang: ’sudah Pak ustad, serahkan ke tim pemulihan Rp 370 juta,” kata Ustad Ali yang ditemui Tempo di masjid yang baru dibangun di halaman Koramil 1702-11 Karubaga, Sabtu, 12 Desember 2015.
Baru-baru ini, ustad Ali mengaku telah menemui Ketua tim pemulihan pasca konflik Tolikara, Edie Rante Tasak untuk menanyakan keberadaan uang Rp 370 juta. Edi juga menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tolikara. “Saya tanya ke pak Edie mengenai bagaimana dengan uang yang dititipkan itu. Pak Edie menjawab: saya kehabisan dana, jadi uang itu dipakai untuk bangun ruki. Saya mau minta nanti karena itu sumbangan dan akan saya bagi ke semua korban yang rukonya terbakar,” kata ustad Ali.
SIMAK: Jangan Kaget, di Papua Harga Sepiring Nasi Pecel Rp 70 Ribu)
Menurut ustad Ali, ia terpaksa memulangkan istri dan anak-anaknya ke kampung tinggal bersama anak sulungnya di Pulau Jawa karena rukonya habis terbakar . Ustad Ali hidup sendiri di Tolikara sambil menunggu kepastian modal usaha. “Untuk sementara saya tinggal di masjid, soal makanan saya dibantu warga,” ujarnya.
Edie tidak merespons Tempo yang menghubunginya lewat telepon seluler. Begitu juga pesan singkat (SMS) yang dikirimkan ke nomor telepon selulernya juga tidak memberikan jawaban.
Kepala Sekretaris Daerah Tolikara Dance Yulian Flassy menolak memberikan penjelasan. “Silakan hubungi Pak Edie untuk mendapatkan penjelasan. Dia sebagai ketua tim pemulihan, dia yang harus jelaskan,” ujar Dance saat dihubungi, Sabtu, 2 Januari 2016.
MARIA RITA