TEMPO.CO, Pangkal Pinang - Nelayan yang ada di Pulau Bangka mendesak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti segera mengambil tindakan terhadap maraknya aktivitas tambang timah di perairan laut Bangka Belitung.
Desakan ini disampaikan dalam spanduk dan poster saat ribuan nelayan melakukan aksi demo guna menolak aktivitas tambang timah laut di Kantor Gubernur Bangka Belitung, Selasa, 29 Desember 2015. Nelayan meminta Menteri Susi mengebom kapal isap yang dinilai sudah meresahkan.
"Saat ini nelayan adalah masyarakat yang paling miskin yang ada di Bangka Belitung. Maraknya aktivitas tambang timah laut dengan menggunakan Kapal Isap Produksi (KIP) membuat nelayan semakin terjepit dan susah. Pemerintah harus mengambil sikap menyelamatkan nelayan," ujar nelayan asal Desa Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Roaidi, dalam orasinya di Kantor Gubernur Bangka Belitung, Selasa, 29 Desember 2015.
Menurut Roaidi, saat ini tangkapan nelayan menurun drastis karena lokasi tangkap ikan semakin jauh. Sementara itu, nelayan dibebani penambahan biaya operasional. "Itu juga belum tentu hasilnya banyak karena banyak lokasi laut yang berlumpur dan terumbu karang mati. Hal itu membuat ikan sangat sedikit berada di sekitar lokasi pertambangan," ujarnya.
Koordinator Aksi Nelayan, Syamsu Budiman, mengatakan nelayan tetap menolak segala bentuk aktivitas tambang timah laut meski diiming-iming pengusaha dengan kompensasi. Menurut dia, kompensasi yang diberikan tidak sebanding dengan kerugian yang dialami nelayan ke depan.
"Dari 45 ribu nelayan di Pulau Bangka, ada 16 ribu nelayan yang merasakan dampak langsung adanya tambang timah laut. Ikan baru banyak didapat jika sudah berada di atas 5 mil dari bibir pantai," ujarnya.
Selain merusak ekosistem laut, kata Syamsu, pengisapan bijih timah menimbulkan sedimentasi cukup banyak hingga menyebabkan terjadinya coral bleaching atau pemutihan karang.
"Setiap harinya, KIP menghasilkan limbah sedimentasi 2.700 meter kubik. Jika ada 50 kapal isap, berarti ada 49,5 juta sedimentasi berupa partikel buangan yang menutupi sebaran terumbu karang," tuturnya.
Menurut Syamsu, konflik horizontal sangat terbuka terjadi antara nelayan dan pihak perusahaan karena pergeseran nilai tradisi lokal dan turunnya produksi nelayan di sekitar lokasi pertambangan timah. "Kita mendesak pemerintah segera memutuskan penghentian aktivitas tambang timah laut secepatnya. Keberadaannya hanya merugikan masyarakat," ucapnya.
SERVIO MARANDA