TEMPO.CO, Jakarta - Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Ben Anderson, ahli Indonesia dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, menutup mata pada usia 79 tahun. Tokoh yang lahir di Kunming, Tiongkok, ini adalah salah satu cendekiawan yang pemikirannya turut mempengaruhi teori-teori tentang Indonesia. Pemikirannya yang kritis sempat membuatnya dilarang untuk menginjakkan kaki di Indonesia pada era Presiden Soeharto.
Tempo edisi 15 Agustus 1981, menceritakan pengalaman Ben Anderson ditolak masuk ke Indonesia oleh petugas imigrasi. Alasannya sederhana: ia dianggap terlalu sering mengecam pemerintah Indonesia terutama soal Timor Timur.
Pada 2 Agustus, ketika ia menginjakkan kakinya di Halim Perdanakusuma, Anderson diminta untuk kembali terbang meninggalkan Indonesia. Menurut Kepala Humas Imigrasi saat itu, Subagio, ia diterbangkan kembali karena terlalu keras mengkritik pemerintah Indonesia.
Padahal Anderson telah mengantongi izin visa dari pemerintah. Namun, karena dianggap masih terus 'menjelek-jelekkan' Indonesia, ia pun kembali dilarang masuk. Seorang perwira tinggi yang diwawancarai Tempo saat itu juga menganggap Anderson lebih layak disebut politikus dibandingkan ilmuwan.
Anderson bersama Ruth McVey termasuk di antara sekelompok sarjana yang menyusun suatu makalah yang terkenal sebagai Cornell Paper. Makalah ini berisi analisis tentang peristiwa G30S, dan menyimpulkan bahwa G30S adalah persoalan internal angkatan darat dan Partai Komunis Indonesia dianggap tidak terlibat.
Benedict Anderson meninggal dunia pada Minggu dinihari, 13 Desember 2015, di Batu, Jawa Timur. Ben ke Indonesia untuk mengisi kuliah umum bertema anarkisme dan nasionalisme di kampus Universitas Indonesia, Depok, Kamis, 10 Desember 2015. Kegiatan ini diselenggarakan penerbit Marjin Kiri, Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan majalah Loka.
PDAT | MAWARDAH NUR HANIFIYANI