TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah ahli hukum pidana menilai alat bukti kasus dugaan korupsi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto sudah lengkap. Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana Bondan, mengatakan kasus "papa minta saham" semakin terang-benderang setelah dimulainya persidangan terbuka Mahkamah Kehormatan DPR pada Rabu lalu.
"Pertemuan sudah pasti ada. Isi pembicaraan sudah benar dan tidak mungkin dibantah," kata Ganjar kepada Tempo, Jumat, 4 Desember 2015. “Tinggal menunggu keterangan ahli untuk memastikan bahwa suara di dalam rekaman itu identik dengan suara Novanto, Maroef, dan Riza atau tidak."
Baca Juga:
BACA: Papa Minta Saham, Setya Novanto Dibidik Percobaan Korupsi
Riza yang dimaksudkan adalah Mohammad Riza Chalid, saudagar yang dikenal kerap ikut serta dalam tender impor minyak PT Pertamina. Adapun Maroef adalah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin. Kejaksaan menyelidiki dugaan permufakatan korupsi berbekal rekaman pembicaraan keduanya dengan Novanto di lantai 21 Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada 8 Juni 2015.
Belakangan, kasus ini dikenal publik dengan sebutan "papa minta saham" setelah muncul dalam meme di media sosial yang menyindir isi pembicaraan antara Setya, Riza, dan Maroef. Dalam transkrip rekaman yang tersebar, Setya dan Riza tampak berusaha meyakinkan Maroef bahwa mereka dapat membantu perpanjangan kontrak Freeport. Mereka juga meminta Freeport ikut serta dalam salah satu proyek pembangkit listrik di Papua yang sahamnya dirancang untuk dibagi ke beberapa pihak.
BACA: Papa Minta Saham, 3 Sebab Riza Chalid Bisa Diseret ke MKD
Menurut Ganjar, ada beberapa pasal alternatif untuk menjerat politikus Partai Golongan Karya tersebut. Pertama, percobaan penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Novanto juga terindikasi melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang melarang setiap orang melawan hukum untuk memperkaya diri dan menyalahgunakan kewenangan sehingga dapat merugikan negara.
Jerat kedua diutarakan ahli hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan. Ia berpendapat, salah satu pasal yang bisa dipertimbangkan untuk menjerat Novanto adalah Pasal 12 huruf e juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. "Percobaan pemerasan yang dilakukan penyelenggara negara," ucapnya. Menurut dia, bukti rekaman yang diperdengarkan dalam sidang etik MKD cukup menunjukkan adanya niat jahat Novanto dan koleganya.
BACA: Lagi, Fadli Zon Bela Setya: Minta Saham Hanya Omong Kosong!
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menjelaskan, meski sidang MKD yang digelar sejak Rabu lalu sudah cukup menguak bukti kebenaran isi rekaman itu, Kejaksaan tetap berkomunikasi dengan ahli teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung untuk memeriksa keaslian suara di dalamnya. "Kami akan cermati satu per satu bagian pembicaraan mana yang bisa dimaknai sebagai percobaan serta adanya percobaan permufakatan (korupsi) di sana," tuturnya kemarin.
Hingga berita ini diturunkan, Novanto, yang Jumat malam kemarin menggelar pesta pernikahan putrinya, belum bisa dimintai konfirmasi.
LINDA TRIANITA
BERITA MENARIK
Rieke Serang Rini Soemarno: Jangan Pikir Saya Tolol!
Resepsi Putri Setya Novanto Mewah, Ini Estimasi Biayanya