TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) pernah menerima laporan dugaan persekongkolan antara perusahaan farmasi dan dokter dalam meresepkan obat kepada pasien. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Zaenal Abidin membenarkan adanya laporan tersebut.
"Saya tidak bisa menutup kemungkinan adanya persekongkolan itu karena MKEK kadang-kadang menegur dokter yang melakukannya," kata Zainal, awal Oktober lalu.
Zaenal mengatakan laporan tersebut sudah lama sampai di MKEK. Ia mengaku tidak mengetahui siapa dokter yang diduga berkolusi dengan perusahaan farmasi tersebut. "MKEK tidak menyebut dokternya siapa, tapi pasti ditegur," ujarnya.
Laporan yang sampai di MKEK itu menguatkan temuan tim investigasi majalah Tempo. Media ini menemukan adanya praktek suap dari perusahaan farmasi kepada dokter terkait dengan peresepan obat. Sesuai catatan keuangan sebuah perusahaan farmasi yang diperoleh media ini, para penerima duit tersebut tersebar di sejumlah provinsi.
Setelah menerima duit, dokter diharuskan meresepkan obat-obat merek perusahaan farmasi tersebut kepada pasiennya dalam periode tertentu. Obat-obat yang diresepkan adalah obat yang mahal dan terkadang tidak dibutuhkan bagi penyembuhan sakit si pasien.
Baca juga:
Selain ke MKEK, Zaenal mengatakan, ada pula laporan yang sama masuk ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDI). Namun laporan terkait dengan hal itu tidak banyak. "Laporan yang masuk lebih banyak berkaitan dengan perilaku dokter kepada pasien. Berkaitan dengan obat ada di urutan bawah," tuturnya.
Menurut Zaenal, dalam kode etik kedokteran, seorang dokter dilarang menerima uang dari perusahaan farmasi yang bisa mempengaruhi independensinya dalam meresepkan obat. "Jika terbukti, akan dikenai sanksi," ucapnya. Dia mengatakan sanksi yang diberikan bermacam-macam, dari teguran sampai pencabutan surat tanda registrasi (STR) dokter sehingga ia tak bisa berpraktek lagi.
TIM INVESTIGASI TEMPO
Baca juga:
Suap Dokter=40 % Harga Obat: Ditawari Pergi Haji hingga PSK