TEMPO.CO, Lumajang - Teras rumah di gang kecil itu sudah dijejali sejumlah ibu beserta anak-anak balitanya, Rabu pagi, 26 Agustus 2015. Ponisah binti Dirjo, 65 tahun, si empunya rumah, di Jalan Mangga 75, Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tengah memijit seorang balita.
Beberapa balita lainnya sudah antre di teras rumah itu. Suara tangis cukup keras terdengar di kamar pijat di ruangan depan, yang terlihat jelas dari jalanan gang depan rumahnya. Ponisah merupakan salah satu warga Kabupaten Lumajang yang akan berangkat haji awal September 2015.
Janda beranak tiga dan delapan cucu ini tergabung dalam kelompok terbang 46. Ponisah sehari-hari menjalani pekerjaannya sebagai pemijat bayi dan balita. "Sehari-hari ya memijat bayi," kata Ponisah ditemui di rumahnya, Rabu pagi, 26 Agustus 2015. Ia mengaku tak pernah mematok tarif atas jasanya itu.
Ponisah mengaku menjadi janda setelah Temo, suaminya, meninggal pada 2010. Almarhum suaminya yang seorang tentara itu harus menjalankan tugas sebagai prajurit ke daerah-daerah terpencil. Sebagai istri prajurit, Ponisah mengaku, sudah terbiasa ditinggal.
"Ketika ditinggal suami bertugas ke luar pulau, saya jadi laki-laki sekaligus perempuan," kata Ponisah, mengistilahkan cara dia harus menjaga anak-anak ketika suami bertugas. Dengan keahliannya memijat itulah salah satu bantuannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga di saat sang suami nun jauh di sana.
Ponisah mengaku tidak pernah belajar dari siapa pun soal pijat-memijat bayi. "Bisa sendiri," kata dia. Memang, kakeknya dulu tukang pijat orang dewasa. Satu pesan yang selalu dia ingat dari almarhum kakeknya, kalau memijat jangan meminta upah. "Anggaplah menolong orang," katanya.
Ponisah mengaku sejak 1984 mulai menjalani usaha jasa memijat bayi. Sejak saat itu, dia membulatkan hati dan meniatkan diri menabung agar bisa berangkat haji. Istri almarhum seorang tentara ini menabung sedikit demi sedikit uang pemberian orang yang telah memanfaatkan jasa memijatnya itu.
"Awal-awal memijat dulu saya masukkan ke dalam celengan berbentuk ayam jago," katanya. Tapi tidak semua pasiennya memberi uang. Tetapi ada juga yang memberi gula. Hingga kurang-lebih 30 tahun membuka usaha jasa pijat bayi, Ponisah tidak pernah mematok tarif. "Sakwelase (seikhlasnya)," kata Ponisah.
Mulai 2005, Ponisah mengatakan ada peningkatan nilai pemberian terhadapnya sebagai imbal jasa memijat bayi dan balita orang. Pada 2009 dia membuka tabungan dan mendaftar haji dengan uang yang dia setorkan sebanyak Rp 20 juta. Hingga kemudian dia ditetapkan bisa berangkat pada September 2015.
"Saya harus melunasi Rp 17 juta untuk berangkat. Alhamdulillah bisa terlunasi," kata Ponisah. Dia tidak memungkiri uang yang digunakan ongkos naik haji itu berasal dari usaha jasanya memijat bayi. Ia pun Ponisah bersyukur pada 2015 ini bisa berangkat naik haji ke Tanah Suci.
Bisa berangkat haji seperti saat ini, kata Ponisah, merupakan berkah yang dia peroleh selama ini. Sepulangnya dari menjalankan ibadah haji nanti, Ponisah mengatakan ia masih akan tetap menjalankan usaha jasanya sebagai tukang pijat bayi. "Ini sudah keahlian saya," ucapnya.
DAVID PRIYASIDHARTA
Berita Menarik
Ada Tuhan di Banyuwangi, Kini Heboh Ada Nabi di Mataram!
Datang ke Jakarta, Ini Alasan 'Tuhan' Tak Mau Mengubah Nama
Kisah Pria Kontroversial: Tiba di Jakarta, Tuhan Kaget
Luna Maya Terkejut karena Kado Mesra dari Pria Ini