TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), pada Senin, 20 Juni 2022, pukul 11.00 WIB. Terdapat tiga gugatan uji materi UU MK ini, di mana salah satu pasal yang sama-sama digugat yaitu soal masa jabatan hakim MK.
Gugatan pertama dengan nomor perkara 96/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Priyanto yang menggugat Pasal 87 huruf b yang berbunyi:
"Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun."
Pemohon menilai seharusnya pasal ini ditambahkan dengan frasa "apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 15 Undang-Undang ini". Pasal 15 ini mengatur soal syarat lengkap menjadi hakim MK pada umumnya, seperti memiliki integritas, adil, dan syarat lainnya.
Pemohon pun menilai Pasal 87 huruf b saat ini telah mempermanenkan hakim konstitusi yang tidak memenuhi syarat untuk menjalankan jabatannya sampai 15 tahun lamanya. Sehingga, inilah yang menjadi alasan utama pemohon menggugat pasal tersebut.
"Pasal ini telah menutup hak konstitusional Pemohon memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan," demikian poin gugatan pemohon, dalam keterangan tertulis MK, Jumat, 17 Juni 2022.
Gugatan uji materi kedua dengan nomor perkara 90/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Allan Fatchan Gani Wardhana.
"Dalam permohonannya, Allan berpandangan bahwa masalah tata cara pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara di bidang legislasi cenderung diabaikan," tulis MK.
Pemohon lalu menggugat sederet ketentuan di Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22 juncto Pasal 23 ayat (1) huruf d jo Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b. Seluruhnya mengatur tentang syarat usia seorang hakim konstitusi, salah satunya soal kenaikan syarat usia hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 55 tahun.
Allan yang juga dosen dan Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) ini menyebut kenaikan tersebut tidak
ditemukan dalam naskah akademik UU MK ini. Terlepas dari ketentuan-ketentuan tersebut, kata dia, calon hakim konstitusi harus dimaknai telah memiliki hak konstitusional untuk dapat diangkat sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang mengatur mengenai kriteria hakim konstitusi.
Terakhir gugatan ketiga dengan nomor perkara 100/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh R. Violla Reinida Hafidz (Pemohon I), M. Ihsan
Mualana (Pemohon II), Rahmah Mutiara (Pemohon III), Korneles Materay (Pemohon IV), Beni Kurnia Ilahi (Pemohon V), Giri Ahmad Taufik (Pemohon VI), dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh (Pemohon VII).
Pemohon mengajukan gugatan Formil dan Materiil terhadap Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2), serta Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK dan Pengujian materiil Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 UU MK.
Dalam alasan pengujian formil norma, pemohon menilai pembentuk UU melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Revisi UU MK ini juga dinilai tidak memenuhi syarat carry over dan pembentuk UU turut melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
"Revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka," demikian poin gugatan pemohon.
Sedangkan untuk pengujian materil, pemohon salah satunya mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkamah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul.
Pada 25 Agustus tahun lalu, ahli hukum dari Universitas Islam Indonesia Idul Rishan juga memberikan keterangan di sidang Mahkamah Konstitusi selaku ahli pemohon gugatan kedua. Idul menilai Pasal 87 huruf b merupakan penyimpangan terhadap jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana telah ditentukan melalui Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.
"Sebab masa jabatan hakim konstitusi yang sedang menjalankan tugasnya dapat diubah sewaktu-waktu atas dasar kepentingan dan motif politik tertentu dari pembentuk UU," kata dia.