Buku Gafatar Ungkap Enam Fase Menuju Khilafah Islam
Editor
Sukma Nugraha Loppies
Minggu, 24 Januari 2016 11:06 WIB
TEMPO.CO, Pontianak - Buku Memahami dan Menyikapi Tradisi Tuhan yang ditinggalkan dokter Dyah Ayu Wulandari, untuk sang Ibu, Eni Nurfaizah, mengungkapkan hal terkait berdirinya Negara Kesatuan Tuan Semesta Alam. Dyah sendiri berhasil ditemukan di Kalimantan Timur. Sabtu pagi, Eni dan suaminya, Wiyono, terbang ke Kalimantan untuk menjemput anaknya.
Hubungan telekomunikasi sudah bisa dilakukan, walaupun difasilitasi oleh petugas kepolisian. ”Saya baru sadar. Sebenarnya informasi Gafatar ini sudah banyak di internet,” ujar Eni, Jumat lalu.
Menurut buku itu, untuk menjadi anggota Gafatar, yang disebut anggotanya merupakan organisasi sosial, harus melakukan ritual awal, yakni Sumpah Gafatar. Sumpah Gafatar yang terdapat dalam buku tersebut adalah mendudukkan Ahmad Mushadeq sebagai mesias atau juru selamat.
SIMAK: Gafatar dan Kisah Ahmad Mushadeq yang Bersalin Rupa
Ini mirip baiat anggota jemaah kepada imam. Ahmad Moshaddeq atau Ahmad Musadeq alias Abdussalam pada 2006 mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Dia pula yang mendirikan gerakan Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
Setidaknya, menurut Eni, di dalam buku itu ada enam tahapan yang dirancang sejak pendirian Al-Qiyadah AL-Islamiyah yang merupakan tahapan menuju pembentukan Negara Islam, meski Islam menurut versi Ahmad Musadeq.
Adapun tahapan atau fase dalam buku yang ditinggalkan Dyah, meliputi enam fase. Pertama, Sirrun, yaitu gerakan rahasia, berdakwah rahasia, dan merekrut anggota secara rahasia. ”Mereka menjaring simpati dengan menggunakan kedok kegiatan sosial,” kata Nurul, ibu dari Faradina Ilma, 24, korban pengikut yang belum ditemukan.
Kedua, Jahrun, yaitu berdakwah secara terang-terangan, mengaji secara terang-terangan, merekrut anggota secara terang-terangan. Menurut Nurul, hal ini sudah dilakukan sejak 2011 dengan terbentuknya Gafatar.
Ketiga, Hijrah, yaitu representasi dari sejarah perpindahan dari Mekah ke Medinah untuk berdirinya ibu kota Negara yang mereka sebut Ummul Qura. Meski tidak spesifik lokasinya, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat belakangan diketahui banyak berkumpul para pengikut Gafatar.
SIMAK: Sejarah Lahirnya Gafatar: Dari Mushadeq ke Mushadeq Lagi
Menurut Suharto, 42 tahun, warga Malang, yang awalnya bekerja di koperasi milik pemerintah, mengatakan bahwa Kalimantan Barat mempunyai potensi yang sangat berlimpah. Warga kelompok tani di Moton Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, ioni menilai, luas lahan banyak yang belum tergarap. “Lahan kami milik investor. Kami bertahan dengan jatah hidup yang diberikan investor. Pembagiannya pada tahun pertama dan kedua untuk petani penggarap, sedangkan tahun ketiga pembagian 20:80,” ujar dia.
Sukardi, 45 tahun, ahli pupuk di kelompok tani Moton Panjang mengatakan sangat optimistis. Sikap optimistis dan komitmen pada kelompok yang ditunjukkan anggota eks Gafatar tersebut sama seperti tahapan ketiga. Dalam tahapan ini, terlihat beberapa warga rela meninggalkan keluarga dan pekerjaan utamanya dan kemudian memilih bertani.
Tahap keempat adalah Qital, yaitu perang terbuka dengan orang kafir demi kemenangan agama Islam versi mereka. Tahapan kelima, Futuh, yaitu menang dari peperangan yang melawan orang kafir. Tahap keenam, Khilafah, yaitu membentuk pemerintahan negara Islam versi mereka dengan memberlakukan hukum Islam versi mereka.
SIMAK: Menteri Tjahjo Sebut Gafatar Turunan NII
Dae, 23 tahun, pemuda asal Buton menyatakan bahwa Musadeq merupakan guru spiritual organisasi. Menurut Dae, negara seharusnya tidak mencampuri ranah pribadi warganya. Terutama soal agama. Agama merupakan keyakinan, yang tidak bisa dipaksakan oleh orang lain. “Konsep Ketuhanan tiap orang beda. Orang saya Karaeng, orang Jawa disebut Kejawen, ada juga Sunda Wiwitan, dan lain sebagainya,” ujar Dae di Kamp Bekangdam XII Tanjungpura, Sabtu dinihari.
Dia kecewa terhadap negara, yang tidak bisa melindungi rakyatnya. Dia percaya komitmen eks Gafatar dengan bertani menuju swasembada pangan. “Rakyat kenyang, kriminalitas menurun. Rakyat harus mandiri, bukan tergantung negara,” katanya.
Dia menegaskan bahwa posisi Musadeq sebagai guru spiritual yang tidak pernah memaksakan keyakinannya. Lantaran itulah dia mengatakan, Gafatar bukan organisasi berbasis agama. “Kami dan kelompok, sudah komitmen bertani. Entah bagaimana caranya nanti, kami akan kembali,” ujar dia.
ASEANTY PAHLEVI