Bentrok di Aceh Singkil, GMKI Sebut Aturan Ini Jadi Penyebab
Editor
Maria Rita Hasugian
Rabu, 14 Oktober 2015 07:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) meminta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo segera mengevaluasi kerja Bupati Aceh Singkil, Safriadi dan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dalam mengelola keberagaman di Aceh.
Menurut Pengurus Pusat GMKI dalam pernyataan persnya yang diterima Tempo, Rabu, 14 Oktober 2015, perlunya evaluasi itu didasarkan pada kehadiran perjanjian damai yang dibuat pada tahun 1979 dan dikuatkan lagi di musyawarah antar warga pada tahun 2001 tentang pembatasan rumah ibadah umat Kristen maksimal hanya satu gereja dan empat undung-undung (rumah ibadah kecil).
Provinsi Aceh juga memiliki Peraturan Gubernur nomor 25 tahun 2007 tentang pedoman pendirian rumah ibadah yang lebih diskriminatif dari Peraturan Bersama Menteri tentang pendirian rumah ibadah. Peraturan seperti itu sudah selayaknya dihapuskan dari Indonesia yang beragam.
"Tidak henti kami meminta kepada pemerintah pusat untuk segera mencabut akar persoalan dari seluruh bentuk intoleransi yang dalam beberapa tahun terakhir terus terjadi di Indonesia yakni Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah Ibadah dan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Eksistensi Ahamadiyah segera dihapuskan," kata Sekretaris Fungsi Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat GMKI, Amos Simanungkalit.
Pasalnya, kata Amos, keberadaan dari putusan tersebut menjadi dasar hukum untuk sejumlah orang melakukan tindakan-tindakan intoleransi di berbagai tempat.
Pengurus Pusat GMKI juga meminta Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, Kapolda Aceh Irjen Pol Husein Hamidi, dan Kapolres AKBP Budi Samekto untuk dicopot dari jabatan karena jelas-jelas tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik sehingga peristiwa bentrokan warga dan pembakaran gereja terjadi.
Kealpaan aparat keamanan ini menunjukkan bahwa negara benar-benar absen di dalam melakukan pengamanan masyarakat. "Seharusnya BIN mampu mengantisipasi ancaman bentrok mengingat peristiwa ini tidak muncul tiba-tiba. Aksi protes terkait keberadaan gereja di Aceh Singkil sudah mulai mencuat sejak 6 Oktober 2015," ujar Amos.
GMKI, ujar Amos, akan menurunkan Tim Pencari Fakta untuk menelusuri penyebab peristiwa pembakaran gereja di Aceh Singkil. Termasuk kepastian mengenai data korban luka-luka dan tewas akibat bentrok, dan meminta agar seluruh pihak yang melakukan tindak melanggar hukum diproses segera mungkin.
GMKI juga mencatat sejumlah kasus intoleransi yang terjadi sepanjang tahun 2015 di antaranya peristiwa di Tolikara, Papua pada 17 Juli 2015; pelarangan ibadah di GPI Tanjung Senang, Bandar Lampung pada Minggu, 12 Juli 2015; pelarangan ibadah yang menyebabkan pendeta beserta keluarga terpaksa diungsikan di GBI Saman Bantul, Yogyakarta pada 14 Juli 2015; serta perobohan gereja HKI Bukit Temindung, Samarinda, Kalimantan Timur pada hari yang sama.
Seluruh bentuk tindakan intoleransi di Indonesia, ujar Amos, harus diusut tuntas tanpa terkecuali. Sedangkan kepada masyarakat, GMKI, meminta untuk tidak terprovokasi sehingga tidak menimbulkan berbagai tindakan intoleransi lanjutan.
GMKI juga meminta media cetak, elektronik dan online untuk menghadirkan berita yang bersumber dari pemberitaan yang jelas sehingga tidak turut memperkeruh suasana yang terjadi saat ini. Apalagi belajar dari pengalaman tragedi intoleransi sebelumnya media turut menjadikan tindakan intoleransi di daerah lainnya. Tetap mengedepankan jurnalisme damai agar masyarakat Indonesia tidak terprovokasi.
MARIA RITA