Suasana jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres di Gedung MK, Jakarta, 21 Agustus 2014. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Panelis hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, Patrialis Akbar, dan Suhartoyo, bingung saat memulai sidang perkara nomor 103/PUU-XIII/2015 yang menguji Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Dua pemohon yang merupakan mantan calon bupati dan wakil bupati dalam pemilihan kepala daerah Kuantan Singingi dari Partai Golkar versi Musyawarah Nasional di Ancol, Imran dan Muklisin, tak hadir. "Saya sama sekali tak melihat adanya pemohon yang hadir," kata ketua panelis, Palguna, sambil memandang kursi pemohon yang kosong di ruang sidang, Senin, 21 September 2015. "Karena sidang sudah dijadwalkan, jadi perkara ini dihentikan."
Hari ini seharusnya kedua pemohon dan kuasa hukumnya, Husni Candra, hadir untuk agenda sidang perbaikan permohonan. Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 23 ayat 3 UU Partai Politik yang mengatur soal kepengurusan resmi ditetapkan keputusan menteri paling lama tujuh hari setelah diterimanya persyaratan.
"Coba dicek dulu di luar apakah ada pemohon yang sudah hadir tapi belum masuk ruangan," ujar Palguna kepada salah satu petugas di ruang sidang.
Selang sekitar tiga menit, petugas tersebut kembali dan memberikan isyarat tak ada tanda-tanda kehadiran pemohon atau kuasa hukum. Palguna kemudian mengutarakan dalam sidang soal adanya laporan dari panitera tentang keputusan Imran dan Muklisin mencabut perkara. Namun tak jelas alasan dua pemohon tersebut.
"Sudah sempat dipanggil sebagaimana mestinya, tapi tak hadir," tutur Palguna sebelum mengetuk palu untuk menutup sidang.
Dua anggota kubu Agung Laksono tersebut sebelumnya dicoret Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai calon kepala daerah dalam pilkada serentak Desember mendatang. Pasalnya, menurut KPU, keduanya tak memenuhi syarat pencalonan dari partai yang masih bersengketa. Imran dan Muklisin hanya mengantongi restu kubu Munas Ancol, tapi tak ada restu dari kubu Aburizal Bakrie atau Munas Bali.
Uji materi dilayangkan karena Imran dan Muklisin menilai KPUD salah mengartikan Pasal 23 ayat 3 yang diklaim sebagai legitimasi partai berlambang pohon beringin di bawah pimpinan Agung. Hal ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015.
KPUD justru berpatokan pada Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pilkada yang memuat kriteria khusus bagi partai bersengketa. KPUD kemudian mengeluarkan keputusan nomor 71/Kpts/KPU-Kab-004,435177/VII/2015 yang menolak pencalonan Imran dan Muklisin.
Kedua pemohon menilai Keputusan Menteri seharusnya lebih tinggi dari Peraturan KPU dalam pelaksanaan pilkada. Dalam petitum, keduanya meminta MK membatalkan surat keputusan KPUD Kuantan Singingi dan menilai pencalonan tersebut sah.