Bangkalan Mengklaim Berhasil Tekan Jumlah Penderita Difteri
Editor
Setiawan Adiwijaya
Jumat, 28 Agustus 2015 08:35 WIB
TEMPO.CO, Bangkalan - Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, mengklaim berhasil menekan jumlah penderita penyakit difteri. Ini membuat Bangkalan tidak lagi termasuk dalam daftar daerah dengan penderita difteri tertinggi di dunia.
Data Dinas Kesehatan menyebutkan, pada tahun 2015, hanya ditemukan 14 kasus penderita difteri. Menurut Kepala Seksi Pencegahan Penyakit dan Surveilens Epidemologi (SP2SE) Pramudya Widjaja, angka ini jauh menurun dibanding tahun 2012 dan 2013. Pada tahun itu, jumlah penderita difteri mencapai 121 orang.
Baca: Kisah Pria Kontroversial: Tiba di Jakarta, Tuhan Kaget
Jumlah itu sempat menempatkan Bangkalan pada peringkat pertama kota dengan jumlah kasus difteri terbanyak di dunia. "Saya sempat stres karena peringkat ini," kata Pramudya, Jumat, 28 Agustus 2015.
Penurunan itu, kata Pramudya, menunjukkan warga yang tinggal di pedesaan mulai sadar akan pentingnya memberikan vaksin imunisasi pada bayi yang baru lahir. Sebab, hasil penelitian tim kesehatan menunjukkan 99 persen penderita difteri di Bangkalan, baik dewasa maupun anak-anak, karena tidak pernah tersentuh imunisasi.
Simak: Pria Ini Cangkok Alat Intim Bionik, Begini Cara Kerjanya
"Tapi, saya akui, masih cukup banyak warga yang menolak imunisasi karena setelah divaksin anaknya menjadi panas, padahal itu wajar," ucapnya.
Meski jumlah penderita menurun, catatan Tempo menyebutkan, angka kematian akibat difteri di Bangkalan cukup tinggi. Untuk tahun 2015, misalnya, dari 14 kasus, 3 di antaranya meninggal dunia. Angka kematian lebih tinggi dibanding tahun 2013. Ketika itu, jumlah penderita 67 kasus dan 2 di antaranya meninggal dunia.
Baca Juga: Luna Maya Terkejut karena Kado Mesra dari Pria Ini
Pramudya tidak membantah catatan itu. Namun dia menilai masih tingginya angka kematian tersebut disebabkan rendahnya pengetahuan warga tentang bagaimana membedakan antara panas akibat difteri dan demam biasa.
Kondisi ini, menurut Pramudya, membuat pasien difteri lambat diberi pengobatan. "Gejala awal difteri sama dengan demam biasa."
Pramudya menambahkan, tiga korban meninggal tahun ini terdiri atas dua anak-anak usia 6 tahun dan seorang remaja 16 tahun. Mereka baru diketahui terserang difteri setelah meninggal dunia dengan ciri-ciri ada selaput putih memenuhi tenggorokannya. "Sebelum meninggal, mereka hanya dirawat biasa di rumah," ujarnya.
MUSTHOFA BISRI
Berita Menarik:
Ada Tuhan di Banyuwangi, Kini Heboh Ada Nabi di Mataram
Gara-gara Ahok, Warga Kampung Pulo Stres dan Darah Tinggi