Sejumlah senjata milik Gerakan Aceh Merdeka, dipamerkan di ruang memorial Dinas Kesbang Linmas. Sejumlah senjata api beserta amunisi, telah dipotong sehingga tidak dapat dipergunakan kembali. Aceh, 8 Agustus 2015. TEMPO/Adi Warsidi
TEMPO.CO, Banda Aceh - Seorang fasilitator perdamaian Aceh, Juha Cristensen, menilai masih ada tantangan dalam proses reintegrasi terhadap mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Harus fokus pada reintegrasi, belum berhasil (baik),” katanya dalam konferesi pers saat simposium Internasional Perdamaian Aceh, di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Rabu, 12 Agustus 2015.
Indikatornya, menurut Juha, adalah kemunculan kelompok-kelompok kriminal bersenjata seperti Din Minimi cs pada era damai. Padahal kriminalitas dan insiden-insiden serius bisa dicegah agar tidak terjadi.
Menurutnya, penyebabnya adalah faktor ekonomi Aceh yang tumbuh melambat. Kurang berhasilnya reintegrasi juga karena pemerintah tidak memiliki perencanaan yang jelas. Setelah misi pemantauan perdamaian yang dilakukan Aceh Monitoring Mission (AMM) berakhir, pemerintah tidak memiliki blue print dalam hal tersebut. Meskipun saat itu Aceh punya banyak bantuan dari lembaga-lembaga internasional.
Mantan Ketua AMM Pieter Feith mengatakan suksesnya perdamaian harus dilakukan dengan menciptakan pemerintah yang baik, mencegah terjadinya korupsi, dan prioritas pembangunan yang memihak bukan hanya kepada kombatan (GAM), tetapi juga seluruh masyarakat. Juga menciptakan stabilitas politik.
Selanjutnya jika itu berhasil dilakukan, investor dengan sendirinya akan masuk. Faktor keamanan juga dinilai penting bagi investor yang akan menanamkan modalnya di Aceh. Kasus kriminal bersenjata yang terdengar keluar daerah dinilai juga akan menghambat investor masuk.
Rektor Unsyiah Prof Samsul Rizal mengharapkan pemerintah Aceh dapat segera menyelesaikan pekerjaan terkait dengan reintegrasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Aceh. “Harapannya ke depan ada perubahan, untuk penguatan perdamaian.”