Jawa Timur Darurat Kejahatan Seksual Anak
Editor
Maria Rita Hasugian
Jumat, 7 Agustus 2015 22:02 WIB
TEMPO.CO, Batu - Ketua Komisi Nasional Perlidungan Anak, Arist Merdeka Sirait menyebutkan Jawa Timur darurat kejahatan seksual. Jawa Timur menempati rangking ketujuh yang jumlah kejahatan seksual terbesar di Indonesia. "Kejahatan seksual terjadi di Kediri, Gresik. Seharusnya bisa dicegah," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, Jumat 7 Agustus 2015.
Sedangkan jumlah kekerasan dan kejahatan seksual terbesar di DKI Jakarta, Makassar, NTT, NTB dan Lampung. Catatan Komnas PA sepanjang empat tahun terakhir terjadi 21,6 juta pelanggaran terhadap anak. Sekitar 58 persen merupakan kejahatan seksual. Selebihnya merupakan kekerasan fisik, eksploitasi, perdagangan anak dan penelantaran.
"Jawa Timur urutan ketujuh kejahatan seksual, itu fakta," katanya. Selama sepekan terakhir, Arist berkunjung ke sejumlah daerah di Jawa Timur memantau penanganan kasus kejahatan seksual yang dialami anak-anak. Meliputi ke Kediri, Gresik, Malang dan Sidoarjo.
Kasus kejahatan seksual di Kediri selama empat bulan terjadi empat kasus dengan jumlah korban mencapai 29 orang. Di Kediri orang terkenal yang seharusnya melindungi justru merusak. Untuk itu, Arist meminta Kepala Kepolisian Resor Kediri dan Wali Kota Kediri untuk membuat nota kerjasama memerani kejahatan seksual.
"Kekerasan terjadi di Gresik, terakhir di Malang Bapak bunuh istri dan anak," ujarnya. Untuk itu, Komnas PA mendorong setiap Kabupaten dan Kota membentuk tim reaksi cepat perlindungan anak. Upaya ini bertujuan agar masyarakat bisa mencegah kekerasan anak di rumah.
Seperti kasus di Malang, Jawa Timur seorang ayah tega membunuh istri dan anaknya. Komnas PA telah membentuk tim reaksi cepat di Bali, Medan, Makassar dan Bandung. Di Bali, contohnya, tim reaksi cepat dibentuk di tingkat banjar. Disusun aturan dalam banjar, jika ada orang tua yang terbukti melakukan kekerasan terhadap anak, bisa diusir dari kampung.
Arist usai menutup Kongres Anak Indonesia di Batu diikuti sebanyak 280 anak peserta Kongres dari 28 Provinsi. Kongres bertema "Memutus mata rantai kekerasan pada anak untuk mewujudkan Indonesia ramah anak" menjadi momentum penting untuk menghentikan kekerasan.
Apalagi, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan mengakui kemerdekaan berserikat dan berpendapat. Persoalan kekerasan, kejahatan seksual, perdagangan anak, pornografi, penganiayaan, penelantaran anak dan kekerasan ekonomi menjadi perhatian peserta Kongres. "Mereka bersuara sendiri tanpa campur tangan orang dewasa," ujarnya.
EKO WIDIANTO