Sri Sultan HB X bersama dengan GKR Hemas duduk lesehan, memberikan audiensi dan penjelasan isi dari Sabda Raja di ndalem Wironegaran, Suryomentaraman, Panembahan, Yogyakarta, 8 Mei 2015. Sabda Raja dan Dawuh Raja bukanlah keinginan pribadi. Dirinya hanya melaksanakan dawuh Allah lewat leluhur Keraton. TEMPO/Pius Erlangga.
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kebudayaan Universitas Indonesia, Karsono Kardjo Saputra, menyatakan tak ada suksesi takhta kerajaan yang terjadi tanpa darah atau konflik dalam sejarah Asia Timur dan Tenggara. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, memiliki catatan konflik panjang, bahkan pembunuhan, dalam penentuan calon pengganti penguasa.
"Berbeda dengan suksesi kerajaan di Eropa yang sudah diatur dalam undang-undang, sehingga relatif lancar," kata Karsono, Rabu, 13 Mei 2015. Hal ini disampaikan Karsono untuk menanggapi polemik internal Keraton Yogyakarta soal suksesi takhta Sri Sultan Hamengku Bawono X. Peluang adik kandung Sultan menjadi pewaris takhta Kerajaan Mataram Islam, yang berdiri pada abad ke-17, itu pupus. Pasalnya, Sultan yang tak memiliki anak perempuan telah mengeluarkan sabda raja kedua, yang isinya mengangkat anak sulungnya sebagai putri mahkota.
Dalam sabda tersebut, Sultan mengubah nama putri pertamanya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Pengubahan nama ini dituding menjadi langkah Sultan mempersiapkan Pembayun sebagai putri mahkota Kesultanan Yogyakarta.
Menurut Karsono, polemik internal Keraton tak semata soal jabatan raja, tapi juga posisi politik sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, posisi sultan terbilang menggiurkan karena banyaknya aset Keraton. "Memang karena kepentingan politik," katanya.
Meski demikian, Karsono menyatakan polemik ini tak akan menyebabkan perpecahan Kesultanan Yogyakarta. Sultan dan keluarganya dinilai mampu menyelesaikan masalah suksesi tersebut dengan baik dan terhormat.
Kesultanan sendiri memiliki catatan buruk saat suksesi Sultan HB VI ke Sultan HB VII. Pada saat itu, kesultanan sampai empat kali melakukan pengangkatan putra mahkota karena calon-calonnya sakit dan meninggal dunia.