Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri menunjukkan surat tanda bukti pelaporan saat meninggalkan kantor KPK, Jakarta, Selasa 30 September 2014. Kedatangan Taufiqurrahman Syahuri untuk melaporkan penerimaan gratifikasi terkait pernikahan anaknya pada 20 September 2014 lalu dengan menghasilkan uang kurang dari Rp 100 juta serta uang dolar sebesar US$ 100. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Yudisial Taufiqurahman Syahuri menyambangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pukul 13.15 WIB. Dia mengatakan kedatangannya untuk melaporkan gratifikasi yang diterima saat mendapat gelar adat Minangkabau, Malin Palito Undang, dari Padang, Sumatera Barat.
"Ada topi, keris, selendang, dan sandal," ujar Taufiq di gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 10 Maret 2015. Ia mengaku tak tahu nilai kisaran hadiah yang diterima itu.
Sebagai pejabat, Taufiq mengaku sering mendapat gratifikasi. Ia pun kerap melaporkan ke komisi antirasuah. "Ini laporan yang ketujuh," ujarnya.
Hadiah yang pernah ia terima antara lain laptop, ipad, dan souvenir lukisan dari Jepang. Semuanya disita untuk negara karena nilainya di atas Rp 500 ribu.
KPK sendiri rencananya akan memajang seluruh benda pemberian kepada pejabat itu di museum gratifikasi di gedung baru mereka. Beberapa benda yang akan dipajang itu antara lain alat pemutar musik iPod Shuffle cenderamata pernikahan anak Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan gitar bass dari personel Metallica.
Museum kecil itu adalah sarana KPK mendidik masyarakat soal gratifikasi. Maklum, tak banyak orang paham soal gratifikasi alias penerimaan hadiah atau janji. Padahal, tiap pejabat negara dilarang menerima pemberian orang, apalagi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Jika barang gratifikasi tak dilaporkan dan diserahkan ke negara melalui KPK, maka pejabat itu bisa dikenai sanksi pidana karena dianggap menerima suap.