Grandong Hentikan Aksi Blokade Pelabuhan Cirebon
Editor
Eni Saeni
Selasa, 16 Desember 2014 20:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Aksi blokade pintu masuk Pelabuhan Cirebon yang dilakukan pengorek batu bara berakhir hari ini. Aksi yang dimulai sejak 11 Desember 2014 ini telah menyebabkan kelumpuhan arus keluar-masuk barang di pelabuhan Kota Udang. "Kerugiannya pun mencapai miliaran rupiah," kata Manajer Operasional PT Pelindo II Pelabuhan Cirebon Yossianus Marciano di Cirebon, Selasa, 16 Desember 2014.
Sejak 3 Desember lalu, PT Pelindo II Pelabuhan Cirebon melakukan sterilisasi di Pelabuhan Cirebon karena pelabuhan ini masuk kategori pelabuhan internasional. Karena itu, aturan yang diterapkan pun harus berstandar internasional. "Ini berarti orang-orang yang tidak berkepentingan tidak dibolehkan masuk," kata Yossi.
Namun aturan itu tentu tidak menguntungkan bagi pengorek batu bara yang biasa disebut "grandong" di pelabuhan itu. Mereka pun melakukan berbagai protes. Di antaranya menutup akses truk-truk pengangkut komoditas di Pelabuhan Cirebon. Mereka bahkan mendirikan tenda di pintu masuk 1 dan 3 tempat keluar-masuknya kendaraan selama hampir sepekan.
Menurut Yossi, akibat aksi itu, pengusaha yang berinvestasi di Pelabuhan Cirebon merugi hingga miliaran rupiah per hari. Dia mencontohkan, satu pengusaha minyak sawit biasanya mendistribusikan komoditasnya hingga 1.000 ton per hari. Dengan asumsi harga minyak sawit mencapai Rp 9 juta per ton, kerugiannya mencapai Rp 9 miliar per hari karena pintu pelabuhan ditutup. "Itu baru dari satu pengusaha minyak sawit," kata Yossi.
Di Pelabuhan Cirebon terdapat tiga pengusaha minyak sawit, sembilan pengusaha aspal curah, serta lima perusahaan batu bara skala besar. "Masih ada perusahaan batu bara lainnya, walaupun skalanya tidak sebesar lima perusahaan ini," katanya.
Yossi mengatakan pasokan batu bara ke sejumlah pabrik di Bandung dan sekitarnya sangat bergantung pada distribusi batu bara di Pelabuhan Cirebon. "Delapan puluh persen pasokan batu bara untuk pabrik di Bandung bergantung Pelabuhan Cirebon," kata Yossi. Ini belum ditambah permintaan grandong agar disediakan pasokan batu bara 15-25 ton/tongkang. "Jika tidak dipenuhi, mereka akan sangat marah."
Menurut Yossi, kemarahan para grandong bisa berakibat fatal, misalnya terjadi penjarahan besar-besaran batu bara di tongkang. Bahkan tongkang bisa dijarah saat masih berada di tengah laut untuk menunggu giliran bersandar di dermaga Pelabuhan Cirebon. "Tidak ada satu pun pengusaha yang menginginkan barangnya dicuri orang," kata Yossi.
Yossi mempersilakan jika ada warga yang ingin menyampaikan aspirasi ihwal sterilisasi yang dilakukan pihaknya, asalkan dilakukan dengan tertib. Sebab, ada kekhawatiran bakal timbul citra buruk yang melingkupi Pelabuhan Cirebon. Pelabuhan, menurut Yossi, telah membuka peluang selebar-lebarnya kepada eks grandong dan warga pesisir untuk bekerja di sana. Sebanyak 33 tenaga pengamanan sudah dikirimkan ke Jakarta pada 10 Desember lalu untuk dilatih. "Semua diutamakan warga pesisir dan eks grandong," kata Yossi.
Sementara itu, tokoh masyarakat pesisir Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Kadiro, mengatakan tidak mungkin warga pesisir melakukan pemblokadean bahkan hingga mendirikan kemah di pintu masuk Pelabuhan Cirebon. "Saya yakin itu bukan warga asli pesisir," kata Kadiro yang pernah mennjabat ketua rukun warga di daerah tersebut.
Menurut dia, jika warga pesisir ada yang bekerja sebagai pengorek batu bara, itu bukan profesi utama. Profesi utama merekaadalah nelayan. Mereka menjadi pengorek batu bara hanya saat sedang tidak melaut atau saat tiba giliran kelompoknya. "Mau ada batu bara di Pelabuhan Cirebon ataupun tidak, bagi warga pesisir tidak ada masalah," ujar Kadiro.
IVANSYAH