Warga berdiri menunggu ikan memakan umpan pancingnya di kali tercemar limbah industri di Pintu air muara banjir kanal timur (bkt), Marunda, Jakarta (2/5). TEMPO/Dasril Roszandi
Menurut dia, pendekatan berbasis eksosistem itu lebih efisien karena pemulihan air melalui teknologi membutuhkan biaya yang mahal. Cara-cara yang ramah ekosistem akan lebih memudahkan karena menyimpan banyak air dan lebih murah.
LIPI kini telah mengkaji pengelolaan air, misalnya penggunaan air di pesantren. LIPI sedang mengembangkan bagaimana pesantren mengelola air untuk memenuhi kebutuhan tanpa membuangnya secara percuma. Ada juga penelitian tentang pengelolaan air lewat sistem subak di Bali. Sistem ini mulai ditinggalkan karena konversi lahan. (Baca:Ritual Air dari Desa Wangongira)
Direktur UNESCO, Hubert Gizen menyatakan menyelesaikan persoalan air menjadi agenda global pada 2015. Seluruh negara perlu bekerja sama untuk menyelesaikan persoalan ini. Caranya adalah membangun kapasitas pembangunanberkelanjutan, melakukan riset, meningkatkan pengetahuan dan pendidikan untuk mengatasi persoalan air.
Dia menyebutkan setidaknya 70 persen air saat ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri dan kebutuhan domestik rumah tangga. "Pemerintah, komunitas, dan individu punya peran penting menyelesaikannya," kata dia.