Alinasi mahasiswa pro demokrasi duduk disamping keranda saat melakukan aksi unjuk rasa menolak RUU Pilkada di Gedung DPRD Sulsel, Makassar, 16 September 2014. Mereka menolak RUU Pilkada karena dianggap mengebiri kedaulatan rakyat dan menghapus hak konstitusional rakyat Indonesia. TEMPO/Asrul Firga Utama
TEMPO.CO, Yogyakarta - Penolakan terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang memunculkan opsi penyerahan kewenangan pemilihan kepala daerah ke DPRD terus meluas. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto heran dengan kengototan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan opsi itu, karena efeknya bisa menghambat kemunculan pemimpin pemerintahan berkualitas dari level lokal.
Menurut Erwan, opsi itu juga mengabaikan semangat reformasi. Pilkada langsung, ujar dia, merupakan buah dari gerakan reformasi yang menuntut penerapan pemerintahan yang demokratis dan partisipatif.
Dia berpendapat, proses pembahasan RUU Pilkada semestinya ditunda dan dilimpahkan ke DPR RI periode 2014-2019. Menurut dia, opsi Pilkada lewat DPRD bisa tidak selaras dengan isi UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang sudah mengatur fungsi legislatif daerah hanya seputar pengawasan, penganggaran, dan legislasi. "Pembahasannya hanya fokus ke masalah parsial. Butuh waktu kajian lebih banyak agar singkron dengan UU lain," katanya.
Sebelumnya, hasil kajian pakar konstitusi lintas universitas di Pusat Studi Pancasila UGM juga menyimpulkan hal yang sama. Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia, Ni'matul Huda, juga khawatir hasil pembahasan RUU Pilkada gampang digugat di Mahkamah Konstitusi. "Alasan gugatan dari pihak pendukung Pilkada oleh DPRD maupun Pilkada langsung sama-sama kuat," ujarnya.