Aborsi Korban Pemerkosaan Rawan Diselewengkan
Editor
Kukuh S Wibowo Surabaya
Selasa, 19 Agustus 2014 13:33 WIB
TEMPO.CO, Mojokerto - Legalitas aborsi untuk korban pemerkosaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, rawan diselewengkan. Kalangan dokter kurang sepakat dengan ketentuan aborsi untuk korban pemerkosaan tersebut.
"Surat keterangan bahwa seseorang (minta aborsi) karena korban pemerkosaan rawan diselewengkan," ujar Ketua Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Komisariat Mojokerto M. Nuruddin Akbar, Selasa, 19 Agustus 2014.
Sebelumnya, pemerintah memberi lampu hijau kepada perempuan untuk mengaborsi bayinya karena dua alasan: kedaruratan medis dan akibat pemerkosaan. Untuk alasan pertama, kalangan dokter tidak mempermasalahkan aborsi. Sebab, kalau tidak dilakukan, malah bisa mengancam jiwa ibu, bayi, atau keduanya. (Baca: Menteri Amir Setuju Aborsi Bagi Korban Perkosaan)
Namun dokter kurang sepakat aborsi dengan alasan pemerkosaan lantaran rawan diselewengkan. Perempuan yang hamil di luar nikah bisa saja mengaku sebagai korban pemerkosaan. Untuk menutupi aibnya, orang tersebut lalu minta surat keterangan dari kepolisian dengan cara menyuap. Dengan mengantongi surat keterangan ini, seseorang bisa melakukan aborsi dengan bantuan dokter atau tenaga ahli yang diberi wewenang dalam undang-undang.
Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Kesehatan, antara lain, mengatur syarat-syarat aborsi. Yaitu, boleh dilakukan sebelum usia kehamilan mencapai 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kecuali dalam hal darurat medis, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan, kewenangan, dan sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Sedangkan Pasal 34 Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi mengatur tata cara pembuktian korban pemerkosaan yang bisa melakukan aborsi. Dalam pasal tersebut diterangkan kehamilan akibat pemerkosaan bisa dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan waktu kejadian pemerkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter dan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan pemerkosaan.
Menurut Akbar, ia belum pernah menangani aborsi pada wanita korban pemerkosaan. "Pernah ada kasus pemerkosaan dan korban sudah hamil 7 minggu. Ya, diteruskan (kehamilannya). Kami lebih pada menghargai kehidupan," ujarnya. (Baca: PP Aborsi, IDI: Jangan Sampai Jadi Ranjau)
Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum, Jombang, Zahrul Azhar, menuturkan aturan legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan menuntut komitmen moral dokter dan kepolisian. "Dokter tidak mau disalahkan jika ada masalah hukum yang ditimbulkan," ujar Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini.
Menurut dia, di sisi lain, kalangan dokter juga masih belum yakin dengan komitmen kepolisian yang berwenang mengeluarkan surat keterangan bagi korban pemerkosaan. "Dokter belum yakin, karena mengeluarkan surat bisa bernilai rupiah," katanya. (Baca juga: Cendekiawan NU Ingatkan Multitafsir Darurat Aborsi)
ISHOMUDDIN
Terpopuler:
Fahri Hamzah Disebut Terima US$ 25 Ribu dari Nazar
Jadi Bos Pertamina, Apa Prestasi Karen
Bagaimana ISIS Hancurkan Toleransi Beragama di Irak?
Bagaimana PRT Pembunuh Bayi di Riau Dibekuk?
Jokowi Setuju 6 Jenis Manusia Versi Mochtar Lubis Dihilangkan