Matt Christopher Lockley yang sedang mabuk, mencoba masuk ke dalam kokpit pesawat Virgin Australia. Pesawat ini diduga dibajak karena saat mendarat komunikasi mendadak terputus. AP/Firdia Lisnawati
TEMPO.CO, Denpasar - Kepolisian Daerah Bali ternyata belum menetapkan Matt Christopher, "pembajak" pesawat Virgin Australia VOZ41, sebagai tersangka. Menurut juru bicara Polda Bali, Ajun Komisaris Besar Hery Wiyanto, warga negara Australia itu masih harus menjalani penyelidikan lanjutan. "Sekarang dia berada di rumah sakit, beristirahat agar bisa diperiksa," kata dia kepada Tempo, Sabtu, 26 April 2014. (Baca: Pakar: Pembajak Virgin Bisa Diadili di Indonesia)
Menurut Hery, penyidik menginterogasi Christopher selama beberapa jam pada Jumat, 25 April 2014. Pemeriksaan Christopher berlangsung hingga menjelang tengah malam, tepatnya pukul 23.00 WITA. (Baca: Mabuk, "Pembajak" Virgin Seharusnya Bisa Dicegah)
Karena itu, kondisi fisik Christopher kemungkinan menurun dan pria 28 tahun dibawa ke rumah sakit untuk beristirahat. Rencananya, polisi kembali meminta keterangan Christopher pada Ahad, 27 April 2014. "Rencananya besok, itu pun jika sudah pulih," kata Hery. (Baca : 'Pembajak' Pesawat Virgin Bawa Obat-obatan)
Insiden "pembajakan" pesawat Boeing 737-800 Virgin Australia bernomor VOZ41 terjadi setelah Christopher mabuk dan menggedor-gedor pintu kokpit pesawat. Pilot pun menyangka terjadi pembajakan dan mengirimkan sinyal 7500 (sinyal pembajakan) ke menara pengawas lalu lintas udara (Air Traffic Controller/ ATC). Christoper kemudian dilumpuhkan dan Pesawat Boeing 737-800 yang mengangkut 137 penumpang dan 6 kru ini berhasil mendarat di Bandara Ngurah Rai. (Baca: Insiden Virgin Sebabkan Delay di Beberapa Kota)
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan aparat hukum Indonesia memiliki kewenangan untuk menindak Christopher. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Christopher bisa bisa dijerat pasal 412 ayat (1) dengan ancaman hukuman dua tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta. "Aparat hukum Indonesia harus menuntaskan kasus ini demi menegakkan wibawa hukum," kata dia kepada Tempo.