Jaminan Kesehatan Nasional Belum Dipahami
Editor
Evieta Fadjar Pusporini
Minggu, 23 Maret 2014 18:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih kurang dipahami masyarakat. Banyak orang masih menganggap bahwa JKN menyediakan layanan kesehatan gratis kepada semua pesertanya. Padahal, tak semua layanan JKN gratis.
Hanya peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam skema JKN yang mendapatkan layanan gratis. Peserta lain di luar program PBI-JKN, wajib membayar iuran sesuai fasilitas kelas yang diambil. Peserta PBI-JKN menerima bantuan sebesar Rp 19.225 per bulan per kepala untuk rawat inap fasilitas kelas 3.
"Penerima Bantuan Iuran harus benar-benar miskin," kata Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG).
Mereka yang mampu membayari yang tidak mampu. Yang tidak sakit membayari yang sakit, namanya subsidi silang. Sayangnya, teknis, sosialisasi dan komunikasi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada masyarakat masih minim. Sehingga banyak kendala timbul di lapangan.
"Sosialisasi yang sangat minim kepada masyarakat mengenai teknis pelaksanaan JKN," kata Parulian. Setelah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dimulai, maka model bisnis industri farmasi, terutama farmasi berbasis riset, berubah.
Mulai tahun depan industri juga harus bisa meyakinkan asuransi kesehatan swasta untuk memasukkan obat-obatan mereka ke dalam daftar obat-obatan yang dipakai. IPMG menaungi 25 anggota perusahaan farmasi berbasis riset, seperti, Otsuka Indonesia, Pfizer Indonesia, Roche Indonesia, Sanofi Group Indonesia, Novartis, dan PT Merck. Perusahaan-perusahaan ini memproduksi obat-obatan inovatif dan telah memperkenalkan 250 obat seperti obat kanker, diabetes dan lainnya.
Di era BPJS, kesehatan masyarakat dijamin dengan menggunakan obat-obatan generik, sebab anggaran pemerintah juga tak besar. Obat inovatif harganya lebih mahal dari pada obat generik. Tapi, meski lebih mahal, penggunaan obat inovatif dalam pengobatan secara keseluruhan justru lebih hemat.
Parulian mengharapkan, harga bukan menjadi kriteria satu-satunya syarat dari pemerintah dalam menentukan obat rujukan nasional. Luthfi Mardiansyah sebagai presiden direktur Novartis Indonesia mempersoalkan soal obat generik yang diminta.
"Padahal kalau obat paten habis, baru ada obat generik," katanya. "Sistem BPJS harus memisahkan antara regulator dan operator karena menurut pemerintah PBI itu dari APBN," kata Luthfi.(Baca : Tunggakan Jamkesmas Rp 2,9 T, Dibayar Rp 1,3 T )
Peserta PBI-JKN adalah golongan fakir miskin yang tidak mampu membayar iuran yang ditetapkan. Pemerintah menetapkan peserta PBI yang memenuhi kriteria miskin. Sekarang jumlah peserta PBI mencapai 86,4 juta jiwa. Parulian mengatakan, JKN harus dibatasi untuk penggantian 3 bulan pertama. "Ini pembelajaran dulu," kata Parulian.
EVIETA FADJAR
Berita Terpopuler
Mega Beberkan Alasannya Pilih Jokowi
Pesan Prabowo: Jangan Mau Dipimpin Tukang Bohong
Soal Video Duo Zalianty Ical Pilih Bungkam
Video Ical-Marcella Bisa Merusak Opini Publik