Sejumlah dokter melakukan aksi solidaritas tolak kriminalisasi dokter di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta (27/11). Mereka mengajak masyarakat untuk mulai berpikir kritis dan objektif mengenai pelayanan kesehatan yang diberikan dokter termasuk menyadari tentang adanya resiko yang mungkin terjadi atas tindakan medis yang dilakukan. ANTARA/M Agung Rajasa
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga pasien kerap kali disodori lembar persetujuan tindakan atau informed consent ketika dokter berencana memberikan suatu tindakan medis. Di beberapa rumah sakit, lembaran ini kerap disodorkan oleh perawat atau pegawai administrasi. Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Ali Baziad mengatakan informed consent wajib ditandatangani dokter.
"Bukan perawat, bukan juga bagian administrasi," katanya kepada Tempo, Selasa, 10 Desember 2013. Belajar dari kasus Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, Ali berharap momentum itu menjadikan pasien lebih kritis serta dokter lebih mengerti hak dan kewajibannya. Ali meminta pasien menolak tindakan medis jika dokter tak menandatangani informed consent.
Ali mengatakan dokter wajib merinci kemungkinan risiko atas tindakan medis. Penjelasan itu wajib disampaikan kepada pasien dan keluarga. "Harus dokter sendiri yang menyampaikan," ujarnya. Ia berharap dokter tidak ciut dengan risiko bakal dilaporkan atas tuduhan malpraktek. "Semua tindakan ada risiko." (Baca: Ketua Majelis Disiplin Dokter: Dokter Ayu Tak Berizin)
Jika ada protes dari salah satu pihak setelah tindakan medis itu, Ali menambahkan, sengketa bisa dilaporkan ke MKDKI. Selama proses sengketa itu, Ali menjamin dokter bisa bekerja seperti biasa. "Selama belum keluar keputusan dokter bisa terus praktek," katanya.
Keputusan MKDKI, ujar Ali, mempertimbangkan segala aspek, baik dari sisi kedokteran dan hukum. Dua dari 11 anggota MKDKI berasal dari praktisi hukum. Ia mengklaim keputusan MKDKI tidak bisa diajukan permohonan banding atau diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. "Keputusan kami bersifat final dan mengikat," katanya.