TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan, sampai saat ini, pemerintah Australia belum juga memberikan penjelasan terkait berita tentang penyadapan yang dilakukan terhadap Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat lain. Marty sendiri sangat menyayangkan langkah Australia yang belum terbuka membahas isu penting ini.
"Australia, kami butuh jawabanmu," kata Marty dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin, 18 November 2013.
Marty pun tak sabar ingin bertemu dengan Nadjib Riphat untuk diajak membahas isu penyadapan yang dilakukan Negeri Kanguru itu. Setidaknya, Marty ingin tahu bagaimana kondisi terakhir di Australia.
Isu penyadapan dinilainya merusak prinsip resiprositas dalam hubungan Indonesia dengan Australia. Sebab, penyadapan yang dilakukan Australia telah membuat rakyat dan pemerintah Indonesia tidak diuntungkan, bahkan cenderung membuat tidak nyaman. "Bahkan penyadapan itu ilegal di hukum Indonesia, Australia, dan internasional," kata dia.
Dengan demikian, sembari menunggu kepulangan Dubes Indonesia, Marty terus menantikan niat baik pemerintah Australia untuk memberikan penjelasan yang tepat mengenai isu penyadapan ini.
Kabar tentang penyadapan Australia terhadap Indonesia pertama kali dimuat dalam harian Sydney Morning Herald pada 31 Oktober 2013. Harian itu memberitakan keberadaan dan penggunaan fasilitas penyadapan di Kedutaan Australia di Jakarta dan negara-negara lain. Stasiun pemantauan yang berada di Kepulauan Cocos itu tidak pernah diakui secara terbuka oleh pemerintah Australia atau dilaporkan di media, meskipun beroperasi selama lebih dari dua dekade.
Terakhir, dari lansiran media berita Australia, penyadapan dilakukan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 15 hari pada Agustus 2009. Selain Presiden SBY, penyadapan dilakukan terhadap Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah menteri.