Pemain timnas Indonesia U-22 Hendra Bayaw (tengah) berebut bola dengan pemain timnas Malaysia U-22 Nazirul Naim (kiri) dan Nik Moho Shahrul Azim (kanan) pada pertandingan SCTV Cup 2012 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta, Minggu (9/9) malam. ANTARA/Puspa Perwitasari
TEMPO.CO, Nunukan - Infrastruktur yang buruk dan suplai kebutuhan yang seret di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia kerap menggoda warga negara Indonesia untuk bergabung dengan negara tetangga. Misalkan di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Selama bertahun-tahun, mereka membeli bahan pangan dan energi dari Kota Tawau, Malaysia, yang berjarak 15 menit menggunakan kapal motor kecil.
Kendati bergantung pada Malaysia, penduduk Sebatik tetap membela tim nasional sepak bola. Sikap itu tidak berubah pada pertandingan Indonesia melawan Malaysia dalam ajang Piala AFF U-19 pada 19 September 2013 lalu. "Kami kan di Indonesia, ya, memilih Indonesia," kata Herman Budi, warga yang berumah semeter dari tapal batas Indonesia-Malaysia, kepada Tempo di Sebatik Barat, Selasa, 8 Oktober 2013.
Pria 42 tahun itu mengatakan memilih Indonesia untuk menyemarakkan pertandingan. Herman memilih Indonesia karena sebagian besar saudaranya tinggal di Malaysia dan memilih timnas negaranya. Seorang warga lainnya juga menceritakan suasana yang ramai saat timnas Indonesia melawan Malaysia. Beberapa penduduk menonton pertandingan di Sebatik, yang masuk Malaysia. Alasannya, kawasan Indonesia kerap mengalami pemadaman bergilir.
Menurut dia, pertandingan yang berakhir seri satu sama itu seharusnya bisa dimenangi timnas Indonesia. "Timnas Indonesia sedang bagus-bagusnya," katanya. Keakraban warga Indonesia dan Malaysia di Sebatik didorong oleh kesamaan suku dan hubungan dagang. "Kami banyak berasal dari Bugis, Sulawesi," kata Herman Haji bacok, tokoh masyarakat Sebatik.