TEMPO Interaktif, Jakarta:Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) dan puluhan organisasi buruh menolak Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan karena isi dan proses pembuatannya dinilai tidak sesuai dengan aspirasi buruh."Prosesnya tidak demokratis, karena hanya memenuhi syarat Letter of Intent IMF untuk menerima kucuran utang luar negeri. Hal ini sudah diakui sendiri oleh pemerintah," kata Sekjen Aspek Indonesia Saepul Tavip di kantor LBH Jakarta, Selasa(19/10). Melalui kuasa hukumnya LBH Jakarta, organisasi buruh telah mengajukan uji materiil atas undang-undan tersebut pada Mahkamah Konstitusi. Besok pagi, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan apakah menolak atau mengabulkan permohonan tersebut.Menurut rencana, organisasi buruh juga akan mengadakan aksi di depan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendesak MK agar memutuskan undang-undang tersebut tidak mengikat sebagai undang-undang lagi."Kami menyerukan pada seluruh serikat buruh di penjuru tanah air untuk menolak keputusan MK bila nanti menyatakan UU No.13 Tahun 2003 tetap mengikat sebagai undang-undang," kata Uli Parulian, kuasa hukum pemohon uji materiil dalam siaran persnya. Pernyataan itu, lanjut Uli, bukan sebagai intervensi terhadap keputusan MK yang akan ditetapkan besok. Ketua LBH Jakarta ini meminta MK bersifat independen dalam mengambil keputusan besok.Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut, menurut Saepul, tidak memasukkan perlindungan buruh sebagai hal yang substansial di dalamnya. Undang-undang ini, lanjutnya, mengalami kemunduran jika dibandingkan dengan dua undang-undang pendahulunya. Sebelumnya masalah ketenagakerjaan diatur dalam UU No.22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No.12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).Sutarto - Tempo