Seorang warga korban lumpur panas Lapindo menabur bunga kelautan lumpur usai istighosah di tanggul titik 61, Desa Ketapang Keres, Porong, Sidoarjo, Jatim, Selasa (17/7). ANTARA/M Risyal Hidayat
TEMPO.CO, Sidoarjo - Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo, S.H Ritonga, menuturkan bahwa pembayaran sisa ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo Jaya tak mungkin diharapkan lagi. Ia dan 22 pengusaha korban Lapindo lainnya berharap pemerintah pusat mengakomodasi keinginan para pengusaha yang telah lama menunggu tanpa kepastian.
Tak cukup itu, Ritonga mengusulkan nilai aset milik pengusaha yang sesuai kesepakatan perjanjian ikatan jual beli pada 2007 diabaikan. Sebab dalam PIJB, nilai aset bangunan seharga Rp 250 ribu per meter persegi dan tanah sawah seharga Rp 60 ribu per meter persegi. "Kami berusaha dulu. Kalau gagal ya merujuk nilai aset sesuai PIJB saja," kata Ritonga di sela-sela rapat dengar pendapat bersama Panitia Khusus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo, Senin, 25 Februari 2013.
Lantaran lumpur telah menggenangi wilayah pabrik, pihaknya enggan mengambil sertifikat tersebut. Menurut Ritonga, pemerintah tak seharusnya bersikap diskriminasi soal pembayaran ganti rugi itu. Pasalnya, pengusaha juga pemilik lahan di daerah tersebut dan bertanggung jawab atas nasib ratusan pekerjanya.
Anggota Pansus Lumpur Lapindo, Nur Achmad Syaifudin, tak sepakat dengan konsep yang diusulkan para pengusaha. Ia berdalih usulan dengan mengabaikan nilai aset sesuai PIJB akan menimbulkan polemik di lapisan grassroot.
Ia condong pada opsi pembayaran ganti rugi tetap berdasarkan nilai aset sesuai PIJB dan sisanya ditanggung negara lewat APBN. "Kalau nilai aset dinolkan lagi, bisa memicu kecemburuan rakyat,” kata Nur Achmad. Sebab, dengan tuntutan itu, maka pengusaha sudah mendapat 30 persen ganti rugi yang sudah dibayar Minarak Lapindo ditambah nilai asetnya sesuai rakyat umumnya, yaitu bangunan dan sawah per meter Rp 2,5 juta.