TEMPO.CO, Bima - Sekitar 300 orang yang tergabung dalam Masyarakat Adat Oi Fo’o, Kecamatan Rasanae Timur, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Rabu, 19 Desember 2012, melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bima.
Mereka menuntut penghentian penambangan marmer yang dilakukan PT Pasifik Union Indonesia di Desa Oi Fo’o. Mereka bahkan mendesak pemerintah mencabut seluruh izin pertambangan di Kota Bima.
"Penambangan telah merusak alam kami. Saat ini debit air berkurang, iklim berubah, dan hasil pertanian kami berkurang. Ini menyengsarakan rakyat," kata salah seorang warga, Idris, saat berorasi.
Aksi demonstrasi yang semula berlangsung tertib, berubah memanas ketika para demonstran melakukan pembakaran ban mobil. Mereka pun berusaha merusak pintu gerbang utama. Bahkan di tengah pengamanan yang ketat oleh ratusan aparat Kepolisian Resor Bima Kota, para demonstran berhasil masuk ke dalam halaman Gedung DPRD.
Aparat kepolisian yang melakukan pengamanan secara berlapis dan dilengkapi kendaraan water canon menghadang para demonsran agar tidak masuk ke dalam gedung DPRD.
PT Pasifik Union Indonesia yang memiliki pabrik di Cina mendapat izin kuasa pertambangan dan mulai melakukan penambangan sejak 2010. Perusahaan tersebut menemukan potensi marmer dengan deposit yang sangat besar sejak melakukan kegiatan eksplorasi sejak 2007.
Tidak hanya melakukan penggerogotan lahan untuk mendapatkankarssebagai bahanbakupembuatan marmer, perusahaan tersebut bahkan mencaplok sawah warga seluas 25 hektare. Kedalaman penggalian mencapai 20 meter.
Menurut Idris, lokasi penambangan merupakan sumber air yang biasa digunakan warga untuk mengairi sawah. Akibatnya para petani mengalami kesulitan mendapatkan air. Selain itu air bekas pencucian batukarsmengakibatkan beberapa tanaman, seperti jeruk, mangga, mati.
Saiful, dari Forum Rakyat Menggugat (FRM), juga mengatakan pemerintah daerah harus segera menghentikan operasi PT Pasifik Union Indonesia, karena telah memicu konflik antar warga. “Kehadiran perusahaan tersebut justeru membawa kesengsaraan bagi rakyat,” ujarnya.
Menurut Saiful, pertambangan di setiap daerah dengan mudah diberi izin karena mendapat legitimasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. ”Apa yang tertuang dalam undang-undang tesebut membuka ruang yang besar bagi kaum kapitalis untuk menggerogoti hak kaum kecil,” ucap Saiful.
Direktur Pelaksana PT. Pasifik Union Indonesia cabang Bima, Maryono Nasiman, mengatakan kegiatan perusahaanya tidak seperti yang digambarkan para demonstran. Sebab hingga saat ini baru pada tahap pengambil sampel. “Perusahaan dengan Pemkot Bima serta warga sering melakukan dialog,” katanya ketika dimintai konfirmasi berkaitan denga aksi demonstrasi warga.
Perusahaan pun merekut 80 persen karyawan di kantor cabang maupun sebagai pekerja di lokasi adalah warga setempat.
Selain itu lokasi yang digali berupa tanah pegunungan bebatuan. Tanah tersebut juga disewa dari pemiliknya selama 10 tahun. Luas tanah yang digali pun baru satu hektare.
Menurut informasi yang diperoleh Maryono, massa yang terlibat demonstrasi bukan warga asli Oi Fo’o. Sebab warga Oi Fo’o justeru bersyukur adanya penambangan marmer. Apalagi pihak perusahaan memenuhi berbagai permintaan warga, seperti pompa air.
Adapun pihak Pemerintah Kota Bima hingga malam ini belum diperoleh konfirmasi.
AKHYAR M NUR