Keluarga Korban Trisakti & Semanggi Bertemu Presiden
Rabu, 10 Desember 2003 08:38 WIB
Permintaan ini, menurut Arief Priyadi, orang tua Norman Irmawan dari kasus Semanggi I, didasarkan pada kekecewaan mereka terhadap keputusan Pansus DPR untuk ketiga kasus ini. Dalam keputusannya, Pansus merekomendasikan bahwa ketiga kasus tersebut adalah tindak pidana murni. Karenanya, sebagai penyelesaiannya akan diterapkan pengadilan militer atau pengadilan umum.
Keluarga korban menganggap keputusan ini sangat tidak adil. "Kami merasa ditipu, dibohongi dan dikhianati oleh wakil-wakil rakyat yang ada ada si DPR," kata Arief penuh emosi. Mereka melihat, penerapan pengadilan militer hanya akan mempertipis harapan untuk memperoleh keadilan. "Kami melihat bahwa pengadilan militer hanya sarana untuk melindungi aparat bersenjata," kata Arief.
Permintaan untuk diselesaikan melalui pengadilan Ad-hoc ini, Arief melanjutkan, sebenarnya sudah disampaikan sejak awal dalam rapat dengar pendapat dengan DPR. Lagi pula, pembentukan pansus itu sendiri terjadi setelah melihat upaya yang dilakukan keluarga korban untuk mencari kebenaran dan keadilan mengalami hambatan.
Melalui pengadilan HAM ini, diharapkann ketiga kasus tersebut dapat diselesaikan, bukan hanya kasus Trisakti dan Semanggi II yang yang sudah memiliki tersangka prajurit pelaku di lapangan. Di samping itu, keluarga korban mengharapkan pertanggungjawaban tidak hanya dibebankan kepada prajurit di lapangan, juga komandan dan para pemberi komando.
Menanggapi hal ini, presiden yang didampingi Juru Bicara Wimar Witoelar, menyatakan akan segera membuat Keppres yang diminta, begitu dasar-dasar hukum dan alasan pembentukannya terpenuhi. Presiden melihat DPR tidak berhak untuk mengambil keputusan dalam masalah ini. "Ini berarti campur tangan dalam penegakan hukum," kata Presiden. Peran penuntutan ini seharusnya dilakukan oleh Jaksa Agung, untuk ditindaklanjuti melalui pengadilan.
Presiden mengingatkan, agar kesalahan para pelaku ini tidak dianggap sebagai kesalahan institusinya. “Institusi dan pribadi harus dipisahkan," kata Presiden. Karena itu, langkah-langkah untuk melindungi mereka adalah tindakan subordinasi. Tindakan itu tidak boleh dilakukan karena seharusnya aparat melindungi rakyat, bukan menindasnya.
Selain Keppres, Presiden juga menyatakan persetujuannya untuk dilakukan pemeriksaan ulang pada kasus-kasus HAM. Tidak hanya ketiga kasus Trisakti dan Semanggi, juga kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, kasus Taman Sari di Lampung, Kasus Tanjung Priok, Kupang, Timor-Timur dan lainnya. Pemeriksaan ulang ini, akan memberikan kejelasan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak, sehingga tidak merugikan nama kepolisian ataupun TNI sebagai institusi.
Dalam rombongan yang terdiri dari 21 orang ini, hadir juga Karlina Leksono dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Karlina mengharapkan, jika para korban belum dapat merasakan keadilan bagi penyelesaian kasusnya, setidaknya pemerintah dapat membuatkan monumen atau setidaknya sebentuk prasasti untuk peringatan tragedi tersebut. Jika belum dapat dipenuhi, sedikitnya diberi kemudahan melalui kebebasan retribusi makam.
Menanggapi hal ini, Presiden kepada rombongan yang terdiri dari orangtua, tim relawan, beberapa perwakilan Universitas Trisakti, dan tim pengacara korban ketiga kasus ini meminta agar dikirimi surat kepada Presiden pribadi melalui amplop tertutup dengan kepala surat "Keluarga Korban Trisakti-Semanggi I & II dan dialamatkan ke Jalan Irian No.7. Dengan menggunakan alamat ini, kata Presiden, akan menghindarkan surat tersebut dari keharusan melewati birokrasi kepresidenan. (Dian Novita)