TEMPO Interaktif, Jakarta - Banyaknya rekrutmen pegawai negeri memicu terjadinya defisit keuangan daerah. Akibatnya Dana Alokasi Umum (DAU) tak bisa menutupi kebutuhan belanja pegawai yang menyerap banyak dana. "Formula DAU sebagian besar untuk belanja pegawai," kata Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, Selasa (12/4).
Penelitian Fitra menunjukkan, pada 2008 rata-rata 76,6 persen DAU digunakan untuk belanja pegawai. Komposisi ini mengalami kenaikan pada 2009 menjadi 85,5 persen dan 95,5 persen pada 2010. Pada 2008 hanya tiga daerah yang mengalami defisit belanja pegawai atau nilai belanja pegawai yang dikeluarkan lebih dari 100 persen DAU.
Pada 2009 jumlah daerah yang defisit bertambah, dan mencapai jumlah 13 daerah pada 2010. Beberapa daerah tersebut diantaranya, Aceh Utara, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Singkarak, Boyolali, Kota Padang, dan Kota Palembang.
Yuna mengatakan kebangkrutan keuangan daerah ini terjadi karena pemerintah daerah terus melakukan rekrutmen pegawai tanpa memperhatikan kebutuhan dan ketercukupan anggaran. Kebijakan kenaikan gaji pegawai tiap tahun turut memperberat beban itu. Padahal daerah tidak mampu mencari sumber pendanaan lain di luar pendapatan asli daerah. Terutama dengan diberlakukannya undang-undang nomor 2008/2009 yang melarang daerah memungut pajak dan retribusi di luar yang diatur dalam undang-undang ini.
Praktis kebutuhan untuk belanja modal, pembangunan infrastruktur dan perbaikan jalan sepenuhnya mengandalkan dana perimbangan dari pusat. Ini terjadi terutama di daerah kabupaten dengan kapasitas fisikal rendah dan sumber pajak minimal.
Daerah-daerah kota dan daerah penghasil sumber daya alam umumnya tidak mengalaminya karena memiliki sumber bagi hasil pajak dan sumber daya alam yang tinggi. Yuna mengatakan ini sebenarnya menandakan ada persoalan dalam desentralisasi fiskal.
"Pemerintah tidak bisa lepas tangan," katanya. Salah satu pemicunya adalah penurunan kekuasaan daerah dalam mengalokasikan anggarannya selama tahun terakhir. Melihat kecenderungan ini, Yuna berpendapat pemerintah harus menghentikan kebijakan pemekaran daerah. Daerah yang akan dimekarkan harus menjalani masa uji coba setidaknya tiga tahun untuk mengetahui apakah layak atau tidak.