Menurut Moerdiono, saat masih menjabat Mensesneg, dirinya bertugas menjawab semua surat yang masuk kepada presiden dan mendokumentasikannya. Dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad nomor F/464/MK 03/1995, belum muncul nama PT Goro Batara Sakti unutk melakukan tukar guling aset dengan Bulog. Nama Goro baru muncul setelah Mensesneg menjawab surat Menkeu itu. Ketika ditanya oleh majelis hakim, dari mana nama itu muncul. Moerdiono mengaku lupa. Namun ia yakin, munculnya nama Goro itu dapat dipertanggungjawabkan. ”Seingat saya, saya memang pernah membuat surat ke Menteri Keuangan. Isinya, pak Presiden setuju ruislag dengan PT Goro,” kata Moerdiono.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Lalu Mariyun dengan Jaksa Penuntut Umum Fahmi itu, Moerdiono juga menjelaskan bahwa tukar guling aset berupa tanah di Kelapa Gading seluas 502.340 meter persegi antara Goro dan Bulog tersebut, seluruhnya dilakukan berdasarkan kebijakan bekas Presiden Soeharto.
Ia mengaku telah menandatangani surat persetujuan Soeharto. Ketika ditanya Jaksa Penuntut Umum, apakah dia lazim menandatangani surat-surat seperti itu. “Kalau ditanya secara umum, itu memang lazim, karena tidak semua surat ditandatangani oleh Pak Harto,” kata dia.
Moerdiono juga mengaku, dirinya pernah ikut dalam pertemuan antara Soeharto dan Beddu Amang. Tetapi, menurut dia, pertemuan itu tidak membicarakan maslaah tukar guling Goro-Bulog.
Selain Moerdiono, persidangan kasus tukar-guling antara Goro dan Bulog yang merugikan negara sebesar Rp 96 miliar ini juga akan menghadirkan saksi lain, yaitu bekas Menkeu Mar’ie Muhammad. (Nurahkmayani)