TEMPO Interaktif, Surabaya - Sidang gugatan perdata antara warga Kelurahan Ujung, Kecamatan Semampir, Surabaya, dan Pangkalan TNI Angkatan Laut V Surabaya di Pengadilan Negeri Surabaya berjalan alot, Selasa (6/4).
Baik penggugat yang diwakili kuasa hukumnya, Andika Wijaya, dan TNI AL yang diwakili kuasa hukum Mayor T. Suwarsono sama-sama bersikukuh mengenai status tanah seluas 8 hektare yang menjadi obyek sengketa tersebut.
Andika menyatakan, tanah yang berada di persil 24 itu merupakan hak milik Muksin, Murtinah dan Drakup. Ketiganya merupakan anak Latiman dan cucu dari Layar, orang yang menempati tanah tersebut sejak sebelum Indonesia merdeka.
Di sisi lain, Suwarsono juga ngotot bahwa tanah itu sudah dibebaskan oleh TNI AL. "Kami punya dokumennya," kata Suwarsono.
Namun, Camat Semampir, Pentarto, yang dihadirkan sebagai saksi, memberikan keterangan yang meringankan warga. Menurut Pentarto, Kantor Kecamatan Semampir belum mendapatkan bukti bahwa tanah tersebut telah dibebaskan oleh TNI AL. Keterangan Pentarto sama dengan kesaksian Harto, bekas staf Kecamatan Semampir.
Sidang pun ditunda hingga minggu depan dengan agenda masih pemeriksaan saksi-saksi. Menurut Andika, sengketa antara warga dengan TNI AL itu berawal saat Jepang menduduki Surabaya pada 1942. Ketika itu, kata Andika, seluruh warga penghuni Kelurahan Ujung diusir dari rumahnya, termasuk Layar.
Namun, setelah Indonesia merdeka dan Layar pulang ke rumahnya, tanah di persil 24 itu telah diklaim menjadi milik TNI AL. Meski demikian Layar tetap menghuni tanah itu hingga akhir hayatnya. Sengketa mengenai kepemilikan tanah itu berlanjut hingga anak cucu Layar.
Pada 1986-1987 TNI AL mengatakan akan memberikan uang pengganti atas tanah itu asalkan Muksin dan saudaranya bersedia pergi. Muksin pun tidak keberatan, namun hingga dua puluh tahun berselang, janji tersebut tidak terealisasi. Pada 2007 TNI AL malah melaporkan warga ke Polda Jawa Timur dengan tuduhan menyerobot tanah negara.
Pada 19 November 2009 warga balik menggugat TNI AL dan meminta ganti rugi materiil Rp 130 juta serta imateriil Rp 10 miliar. Menurut Andika, warga menggugat karena meyakini bahwa tanah tersebut masih sah miliknya. "Buktinya pada 2009 warga masih mendapat tagihan pajak bumi dan bangunan," kata Andika.
KUKUH S WIBOWO