TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah didesak memperketat alokasi dana hibah dalam anggaran pemerintah daerah. Selama ini pengucuran hibah dinilai sangat longgar, tidak akuntabel, dan justru sering digunakan untuk memoles citra politik penguasa menjelang pemilihan kepala daerah. Pasalnya dana hibah tidak diaudit, serta tak ada tujuan penggunaan dan kriteria pemberian yang terukur.
"Seharusnya ada pergeseran, tidak boleh ada lagi dana hibah yang dikelola tidak jelas," ujar peneliti senior Indonesia Corruption Watch Luky Djani dalam diskusi di Bakoel Koeffie, Kamis (21/10).
Ia berpendapat penggunaan hibah harus dibatasi pada persentase yang kecil jika dibandingkan dengan pendapatan daerah. Penggunaannya juga diprioritaskan hanya untuk kegiatan tanggap darurat, semisal jika ada bencana. Dana ini pun wajib diaudit sehingga ada pertanggungjawaban yang jelas kepada publik.
"Ini PR (pekerjaan rumah) Menteri Dalam Negeri yang baru. Kita lihat seberapa jauh ia bisa menata ulang kerangka hukum peraturan alokasi anggaran daerah," kata Luky. "Mudah-mudahan Gamawan Fauzi bisa."
Dari penelitiannya di Kabupaten Tabanan, Bali, pengajar Murdoch University Ian Wilson mengkritik sistem penyusunan anggaran daerah yang dianggapnya tidak partisipatif. Sebabnya, perwakilan masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan ternyata dimonopoli dan dikuasai oleh organisasi masyarakat binaan Bupati.
Parahnya lagi, parlemen lokal dan pemerintah daerah menganggap partisipasi warga hanyalah proses simbolik dan tidak berdampak pada politik alokasi anggaran. "Akibatnya warga terpinggirkan dan apatis terhadap pengawasan pemerintah daerah," kata Wilson.
Peneliti senior ICW lainnya, Teten Masduki, menemukan lonjakan anggaran dana hibah di Kota Bandung pada tahun 2007 dan 2008. Dana yang dilabeli anggaran "Bawaku Makmur", program bantuan langsung pemerintah Kota, tercatat di bawah Rp 1 miliar pada 2006. Jumlahnya melesat menjadi Rp 14,4 miliar tahun 2007, dan meningkat lagi ke angka Rp 22,13 miliar tahun berikutnya.
"Besar potensinya dana ini digunakan walikota untuk mobilisasi politik," tuturnya. Uang publik ini lantas diberikan kepada warga dan dipersonifikasi dengan label citra diri Walikota Bandung Dada Rosada.
Teten mencatat, sebagian warga yang ia wawancara memilih Dada lagi karena dipandang sebagai orang yang royal. "Mereka bilang dia berean (suka memberi)," ucapnya.
BPK Beri Opini Wajar Tanpa Pengecualian ke Semua Kementerian/Lembaga, Kecuali Kominfo
5 Desember 2023
BPK Beri Opini Wajar Tanpa Pengecualian ke Semua Kementerian/Lembaga, Kecuali Kominfo
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjadi satu-satunya kementerian yang mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian atau WDP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)