Kasus Tentara di Sentani karena Komandan Terlalu Normatif
Jumat, 1 Mei 2009 09:24 WIB
TEMPO Interaktif, Bandar Lampung: Mantan Kepala Staf Daerah Militer V Brawijaya, Brigadir Jenderal Purnawirawan Mudjiono menyetakan ratusan anggota Batalion 751 yang mengamuk karena komandan pasukan itu bertindak terlalu normatif. “Komandan terlalu kaku, normatif dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memimpin sebuah bataliyon,” kata Mudjiono di Bandar Lampung, Jum’at (01/05).
Mantan calon wakil gubernur Jawa Timur itu mengatakan peristiwa di Kota Sentani, Jayapura itu bukan karena faktor kesejahteraan prajurit yang rendah. “Pemotongan gaji prajurit untuk mengurus jenasah rekannya yang meninggal itu hanya pemicu,” katanya. Dia menduga komandan Bataliyon Infanteri 751 Wira Jaya Sakti Letnan Kolonel Lambok Sihotang kurang dekat dengan prajurit.
Seorang komandan batalion seharusnya bertindak cepat ketika menangani seorang prajurit yang meinggal dunia. "Komandan batalion seharusnya cepat karena urusan prajurit meninggal dalam kesatuan dan masalah uang dua hal yang sangat sensitif," katanya.
Komandan tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada prajurit. “Jika kesejahteraan diartikan dengan uang, kesejateraan prajurit tidak pernah tercapai. Kesejahteraan seorang anggota batalion adalah berlatih. Semakin banyak berlatih, seorang prajurit makin sejahtera,” ujarnya.
Mudjiono yang pernah menjabat Komandan Batalion 745 Los Palos menjelaskan kehidupan di batalion itu sangat kental suasan kebersamaan. Batalion terdiri dari tamtama, bintara, perwira pertama dan perwira menengah. “Komandan dan wakilnya itu ibarat hanya tamu di batalion yang akan dinilai dan dibandingkan dengan komandan sebelumnya oleh prajurit yang telah hidup di batalion bertahun-tahun. Keduanya harus mampu mengambil hati mereka,” katanya.
Dia meminta petinggi Tentara Nasional Indonesia mempersiapkan seorang komandan dan wakil batalion dengan baik. “Sebelum diterjunkan menjadi komandan batalion, para perwira menengah itu harus dibekali dengan studi kasus dan pemahaman batalion yang cukup. Menjadi komandan harus memiliki seni. Komandan tidak boleh kaku,” katanya.
Dia mencontohkan banyak kasus serupa yang bisa menjadi rujukan bagi para komandan batalion agar tidak terulang kasus tentara mengamuk. Peristiwa anggota Batalion 751 Kota Sentani itu mirip dengan kasus di Batalion 745 Los Palos pada tahun 1999. Saat itu, kata dia, seluruh anggota batalion itu mengamuk karena seorang rekan mereka meninggal setelah dianiaya atasannya. “Saat itu, batalion dikuasai oleh seorang kopral karena semua perwira lari. Melalui pendekatan dan negosiasi, saya bisa menyelesaikan kasus itu,” katanya.
NUROCHMAN ARRAZIE