TEMPO Interaktif, Pekanbaru: Banjir di sembilan kabupaten dan kota di Riau sejak Ahad lalu disebabkan rusaknya daerah alisan sungai dan lahan gambut. Kerusakan seperti yang terjadi di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, Rokan Hilir, dan Pelalawan misalnya, karena pembangunan hutan tanaman industri dan pembukaan lahan untuk perkebunan kepala sawit. Koordinator Jaringan Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari), Santo Kurniawan mengatakan, separuh dari daratan Riau atau 4 juta hektar adalah lahan gambut. Dua juta hektar di antaranya merupakan lahan lindung gambut. Tapi, 819 hektar dari lahan lindung gambut ini sudah dikonversi menjadi hutan tanaman industri dan 200 ribu hektar untuk kebun sawit. "Karena lahan gambut sudah rusak, banjirlah yang kita terima," ujar Santo di Pekanbaru pada Senin (5/11). Selama ini lahan gambut di Riau, kata dia, berfungsi sebagai kawasan serapan air. Tapi, sejak lahan ini dikonversi, pemegang hak pengusahaan hutan membangun kanal besar yang membuat lahan gambut mengering karena air mengalir ke kanal. Sementara itu Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau mendesak pemerintah menindak pemberi izin hutan tanaman industri di lahan gambut. "Jangan banyak pertimbangan, cabut saja izinnya," kata Direktur Eksekutif Walhi Riau Johny Setiawan Mundung. Dia membantah konversi lahan gambut menjadi hutan tanaman industri memberikan kemakmuran buat rakyat. Jika alasan ekonomi dijadikan alasan, Johny mendesak pemerintah melihat fakta di lapangan. "Setiap tahun pemerintah mengeluarkan dana untuk menangani korban banjir," katanya. Anggaran bencana ini tidak sepadan dengan pemasukan yang diterima dari pengusaha hutan. Akibatnya masyarakat selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Menurut Johny, setiap tahun anggaran bencana banjir di Riau selalu naik karena kerusakan yang ditimbulkan sangat besar. Banjir tahun 2003 yang merendam tujuh kabupaten mengakibatkan kerugian Rp 840 miliar. Sedangkan banjir tahun lalu, kerugiannya kian membengkak mencapai Rp 1,5 triliun. bobby triadi